RSS

Dilema Pemilih Pemula

Dilema Pemilih Pemula
OLEH SALWINSAH
win4TANGGAL 9 April 2014 rakyat Indonesia menggelar hajatan akbar, pesta demokrasi memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Bulan Juli 2014 menyusul pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2014-2019.
Pemilih dalam Pemilu berdasarkan UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD mendefinisikan adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 tahun atau lebih atau sudah atau pernah kawin. Mereka yang berusia 17-21 tahun, memilih dalam Pemilu merupakan pengalaman pertama kali. TNI/Polri yang baru pensiun dan kembali menjadi warga sipil yang memiliki hak memilih, juga dikategorikan sebagai pemilih pemula. Ketika menjadi anggota TNI/Polri aktif, mereka tidak punya hak pilih dalam pemilu. Setelah memasuki usia pensiun, barulah mereka memiliki hak memilih dan dipilih.
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pemula artinya adalah orang yang mulai atau mula-mula melakukan sesuatu. Maka pemilih pemula adalah orang yang mula-mula melakukan pemilihan umum. Atau pemilih yang punya kesempatan secara hak sesuai ketentuan untuk memilih pertama kalinya.
Pemilih pemula yang memiliki antusiasme tinggi menggunakan hak pilihnya, akan mendatangi Tempat Pemungan Suara. Namun kebanyakan pemilih pemula yang berpartisipasi dalam pemilu belum banyak berkonstribusi untuk kemajuan demokrasi ke arah yang lebih baik. Karena banyak pemilih pemula menggunakan hak pilihnya hanya berdasarkan popularitas atau kekerabatan dengan calon anggota legilatif (caleg). Hanya sedikit di antaranya yang memang memilih dengan kecerdasan politik, mengedepankan pertimbangan sistem demokrasi demi kemajuan bangsa. Kedewasaan politik ini belum tumbuh dan terbangun secara matang, karena kurikulum pendidikan pun belum memikirkan ke arah sana.
Sebagai pemilih pemula, generasi muda tersebut perlu dibekali tentang arti penting pemilu buat mereka dan masa depan bangsa. Mereka tentunya tidak mesti menerima pesta demokrasi itu sebagai suatu kepas¬rahan, ikut-ikutan, apatis atau tidak peduli sama sekali. Oleh karena itu, penting bagi pemilih pemula mendapatkan pendidikan politik secara spesifik. Pada mereka disampaikan arti penting suara pemilih, berbagai hal yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu, seperti fungsi, sistem, tahapan, peserta, lembaga penyelenggara dan sebagainya. Tujuannya agar mereka memahami apa itu pemilu, mengapa perlu ikut pemilu dan bagaimana tata cara menggunakan hak pilih. Setelah pemilih pemula memahami berbagai persoalan pemilu diharapkan mereka menjadi pemilih yang cerdas yakni pemilih yang dengan hati nuraninya dapat memilih pemimpin yang berkualitas demi perbaikan masa depan bangsa dan negara, yang nantinya akan diwariskan kepada mereka.
Ironis. Citra elite politik dan perilaku kader partai politik (parpol) yang melahirkan banyak koruptor sangat mengganggu eksistensi pemilih pemula. Mereka tidak termotivasi menggunakan hak pilihnya karena banyaknya perilaku menyimpang dari kader parpol. Dan pada umumnya sangat sulit mengubah paradigma kalangan generasi sekarang ini. Anak-anak muda memiliki persepsi, sesuai dengan apa yang selalu ia lihat dan saksikan, elite politik selalu koruptor dan berperilaku tidak memihak kepada rakyat. Akibatnya, muncul anggapan kalau ikut pemilu sama dengan ikut memilih koruptor. Ikut pemilu, pun tidak akan memberi perubahan bagi rakyat.
Dilema
Karena pemilu sudah menjadi ba¬gian mekanisme penyelenggaraan negara yang tak terpisahkan dari suatu negara yang menganut paham demokrasi, maka pemilu adalah momen penting sebagai wadah media demokrasi yang digunakan untuk mewujudkan partisipasi masyarakat.
Sayangnya partisipasi masya¬rakat dalam mengikuti pemilu semakin turun. Data dari berbagai media menyimpulkan bahwa pemilu pada tahun 1999 partisipasi masyarakat sebesar 92,7 persen, tahun 2004 sebesar 84,07 persen dan tahun 2009 sebesar 71 persen. Sementara untuk Pilkada tingkat partisipasi antara 50-70 persen saja. Penyebab menurunnya partisipasi masyarakat dalam pemilu dan pilkada tentu bermacam-macam. Tapi yang paling utama adalah tidak adanya perubahan yang relatif lebih baik bagi kesejahteraan masyarakat. Masyarakat cenderung menganggap pemilu dan pilkada sebuah ajang dari, oleh dan untuk keuntungan parpol saja. Sementara sebagian besar masyarakat pemilih bukanlah anggota parpol.
Apatisme terhadap pemilu oleh sebagian masyarakat (termasuk pemilih pemula) berdasarkan kesimpulan lembaga-lembaga penelitian dan survei akhir-akhir ini disebabkan berba¬gai hal. Yang digadang-gadangkan adalah masyarakat merasa tidak ada manfaat yang nyata, meski pemilu itu telah dilaksanakan berkali-kali. Sikap-sikap parlemen yang cen¬derung diwartakan sebagai lembaga yang belum ber¬pihak pada rakyat, terbong¬karnya praktik-praktik kecurangan dan sikap koruptis di mana-mana, bahkan diklaim sebagai lembaga yang terkorup, maka hal ini akan berdampak pada kualitas pemilu tahun 2014 yang sudah di ambang pintu ini.
Parpol yang semestinya bertugas sebagai pence¬¬rahan terhadap masya¬rakat dengan fungsinya sebagai motor pendidikan dan komunikasi politik, agregasi dan artikulasi kepentingan, ternyata belum berjalan sebagaimana semestinya. Semisal rekrutmen politisi belum berjalan baik, dimana masih banyak orang-orang yang men¬dadak jadi politikus, politisi yang ‘loncat pagar’ pada saat periode pemilu berlangsung, atau trend kalau kalah dalam ajang pemilihan pengurus partai, lalu pindah partai lain, bahkan mendirikan partai baru.
Disebabkan rekrutmen ang¬gota parpol tidak berjalan alamiah tersebut –yang kemudian dijadikan caleg– maka banyak sekali pemilih tidak mengenal calon-calon yang ditawarkan untuk dicoblos. Ketidaktahuan itu kadang dimanfaatkan oleh caleg-caleg untuk melakukan pen¬citraan, bersosialisasi melalui gambar dan visua¬lisasi di jejaring sosial dan sebagainya, terutama kepada pemilih pemula yang masih polos tadi.
Padahal si caleg, belum tentu mempunyai kapa¬bilitas sebagai seorang politikus yang akan me¬ngemban amanat rakyat. Para caleg me¬nampilkan pen¬citraan memikat dengan kepiawaiannya mengolah media, dengan jum¬lah pemilih pemula yang banyak, akhirnya tidak menutup kemungkinan mereka mampu meme¬nangkan kompetisi ini. Maka duduklah wakil-wakil rakyat di kursi dewan yang diragukan kualitasnya.
Kalau dilemanya seperti ini, apakah pemilih pemula akan menggunakan hak pilihnya!
(Penulis Guru SMA Negeri Titian Teras H. Abdurrahman Sayoeti Jambi)

 

Tinggalkan komentar