RSS

Sikap Terhadap Pluralisme Agama

SIKAP TERHADAP PLURALISME AGAMA

 

  1. PENDAHULUAN

 

Pluralitas1adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan ini. Allah menciptakan alam ini di atas sunah pluralitas dalam sebuah kerangka kesatuan. Isu pluralitas adalah setua usia manusia dan selamanya akan ada selama kehidupan belum berakhir, hanya saja bisa terus menerus berubah, sesuai perkembangan zaman. Pluralitas pada hakikatnya merupakan realitas kehidupan itu sendiri, yang tidak bisa dihindari dan ditolak. Karena pluralitas merupakan sunatullah, maka eksistensi atau keberadaanya harus diakui oleh setiap manusia. Namun pengakuan ini dalam tataran realitas belum sepenuhnya seiring dengan pengakuan secara teoritik dan kendala-kendala masih sering dijumpai dilapangan.Dalam kehidupan sehari-hari sebelum dicampuri dengan kepentingan ideologis, ekonomis, sosial-politik, agamis dan lainnya, manusia menjalani kehidupan yang bersifat pluralitas secara ilmiah, tanpa begitu banyak mempertimbangkan sampai pada tingkat “benar tidaknya” realitas pluralitas yang menyatu dalam kehidupan sehari-hari. Baru ketika manusia dengan berbagai kepentingannya (organisasi, politik, agama, budaya dan lainnya) mulai mengangkat isu pluralitas pada puncak kesadaran mereka dan menjadikannya sebagai pusat perhatian. Maka pluralitas yang semula bersiat wajar, alamiah berubah menjadi hal yang sangat penting.2

 

Seiring dengan maraknya proses liberalisasi sosial politik yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, dan disusul dengan liberalisasi atau globalisasi (penjajahan model baru) ekonomi, wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membukakan diri untuk diliberalisasikan.3

Agama yang semenjak era reformasi gereja abad ke-15 wilayah juridiksinya telah diredusir, dimarjinalkan dan didomestikasikan sedemikian rupa, yang hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling privat, ternyata masih diangap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan dan pluralisme. Seakan-akan semua agama secara general  adalah   musuh  demokrasi,   kemanusiaan dan   HAM.  Sehingga  agama   harus

________________________

 

  1. Pluralitas adalah sebagai “menerima perbedaan” atau menerima perbedaan yang banyak”. Dalam konteks pengunaan kata pluralitas pada makalah ini penulis mengartikannya sebagai keberagaman termasuk keberagaman agama.)
  2. Saifuddin, Upaya Mempertemukan Realitas Dalam Pluralitas Sosial Budaya, Jurnal Suhuf ,No.01 Tahun XII, 2000, hal.70)
  3. Anis Malik Thoha, Wacana Kebenaran Agama Dalam perspektif Islam (Telaah Kritis Gaga san Pluralistik Agama, Makalah Workshop Pemikiran Islam dan pemikiran Barat, Pasuruan 4-5 April2005, hal. 60)

 

mendekonstruksikan diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal , merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta tidak sesuai lagi semangat zaman.4

Agama sebagai sebuah tatanan nilai, sebenarnya membutuhkan mediumbudaya agar keberadaannya membumi dalam kehidupan umat pemeluknya dan iadiharapkan menjadi institusi bagi pengalaman iman kepada sang Khaliq. Disini agama menawarkan agenda penyelamatan manusia secara universal, namun disisi yang lain agama sebagai sebuah kesadaran makna dan legitimasi tindakan bagi pemeluknya, dalam interaksi sosialnya banyak mengalami perbedaan hermeunetik sehingga tidak pelak memunculkan konplik. Pluralitas agama disatu sisi, dan hiterogenitas realitas social pemeluknya disisi yang lain, tidak jarang menimbulkan benturan-benturan dalam tataran tafsir atau dogma agama maupun dalam tataran aksi.

Disadari atau tidak, konplik kemudian menjadi problem kebangsan dan keagamaan yang tidak bisa hanya diselesaikan lewat pendekatan teologi normatif. Akan tetapi diperlukan pendekatan lain yaitu sikap kearifan sosial di antara kelompok kepentingan dan kalangan pemeluk paham atau agama. Berkenaan dengan munculnya paham pluralisme terutama pluralisme agama beberapa tahun terakhir ini, maka wacana tentang pluralisme agama menjadi tema penting yang banyak mendapat sorotan dari sejumlah cendikiawan muslim sekaligus nampaknya juga memunculkan pro dan kontra dikalangan para pemikir, cendikiawan dan para tokoh agama.

 

 

  1. ISTILAH FAHAM PLURALISME AGAMA

 

Secara etimologi, pluralisme agama, berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan “al-ta’addudiyyahal-diniyyah”.5 Dan dalam bahasa Inggris “religious pluralism“. Oleh karena istilah pluralisme agama berasal dari bahasa Inggris, maka untuk mendefinisikannya secara akurat harus merujuk kepada kamus bahasa tersebut. Pluralism berarti “jama'” atau lebih dari satu. Pluralism dalam bahasa Inggris menurut Anis MalikThoha (2005: 11) mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan: (i) sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur   kegerejaan,   (ii)  memegang   dua  jabatan   atau  lebih  secara

______________________

 

  1. Ibid., p. 65.
  2. Terminologi pluralisme atau dalam bahasa Arabnya, “al-ta’addudiyyah”, tidak dikenal secara popular dan tidak banyak dipakai dikalangan Islam kecuali sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke 20 yang lalu, yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan internasional Barat yang baru yang memasuki sebuah pase yang dijuluki Muhammad Imarah sebagai “marhalat alijtiyaah” (fase pembinasaan). Yaitu sebuah perkembangan yang prinsipnya tergurat dan tergambar jelas dalam upaya Barat yang habis-habisan guna menjajakan ideology modernnya yang daingap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas dan mengekspornya untuk konsumsi luar guna berbagai kepentingan yang beragam. Lihat : Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama,Tinjauan Kritis, Jakarta: Perspektif, 2005, hal.180.)

 

 

bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis; berarti system pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasarkan lebih dari satu. Sedangkan ketiga, pengertian sosio-politis: adalah suatu system yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat kerakteristik di antara kelompok-kelompok tersebut.6

Adapun tentang agama para ahli sosiologi dan antropologi cenderung mendefinisikan agama dari sudut fungsi sosialnya-yaitu suatu system kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-sataun atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan kebanyakan pakar teologi, fenomenologi dan sejarah agama melihat agama dari aspek substansinya yang sangat asasi-yaitu sesuatu yang sakral.7

Dari definisi diatas, maka dapat di tarik suatu pengertian bahwa “pluralitas agama” adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti yang luas) yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masiang-masing agama.. Namun dari segi konteks dimana “plurlisme agama’ sering digunakan dalam studi-studi dan wacana sosio-ilmiah pada era modern ini, memiliki definisi yang berbeda . John Hick, yang dikutip Anis Malik Thoha misalnyamenyatakan : “…pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon real atau Yang Maha Agung dari dalam pranata cultural manusia yang bervariasi; dan bahwa transpormasi wujud manusia dari pemusatan-diri menuju pemusatan hakiki terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata cultural manusia tersebut dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama”.8

 

__________________________

 

  1. Pluraisme berasal dari kata “plural” yang berarti banyak atau berbilang atau “bentuk kata yang digunakan untuk menunjukan lebih daripada satu” (form of word used with reference to more than one) Pluralisme dalam filsafat adalah pandangan yang melihat dunia terdiri dari banyak makhluk. Istilah ini sering dilawankan dengan monotheisme yang menekankan kesatuan dalam banyak hal atau dualisme yang melihat dunia terdiri dari dua hal yang berbeda. Monoisme terbagi kepada physicamonoism yang terwujud dalam filsafat materialisme bahwa seluruh alam adalah benda dan mentalmonoism atau idealisme yang menyatakan bahwa alam seluruhnya adalah gagasan atau idea. Pada dualisme, segala sesuatu dilihat sebagai dua. Filsafat Zoroaster misalnya, melihat duania terbagai kepada gelap dan terang, dan Descartes mempertentangkan antara pikiran (mind) dan benda (mater). Pada Pluralisme, segala hal dilihat sebagai banyak. Lihat : A.S. Hornby et.al., The Advanced Learner’sDictionary of Current English (Oxfort : Oxford University Press, 1972), hal. 744 dalam Riyal Ka’bah, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, Bingkai gagasan yang berserak, (Ed.) Suruin, Bandung : Penerbit Nuansa, 2005, hal.68.)
  2. Ibid., hal. 12-14
  3. Anis Malik Thoha, Wacana…., op.cit., hal. 15

 

 

 

 

 

Dengan kata lain, Hick menurut Anis menegaskan sejatinya semua agama adalah merupakan manifestasi-manifestasi dari realitas yang satu. Dengan demikian, semua agama sama dan tak ada yang lebih baik dari yang lain. Majelis Ulama Indonesia mendefiniskan Pluralisme Agama sebagai : “Pluralisme Agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga”.9

 

 

  1. SIKAP TERHADAP PLURALISME

 

1. Humanisme Sekuler

Humanisme sekuler adalah suatu system etika (ethical system) yang mengukuhkan dan mengagungkan nilai-nilai humanis, seperti toleransi, kasih sayang, kehormatan tanpa adanya ketergantungan pada akidah-akidah dan ajaranajaran agama. Ciri dari ‘Humanisme Sekuler ini adalah “antroposentris”, yakni menganggap manusia sebagai hakikat sentral kosmos atau menempatkannya dititik sentral. Pemikiran ini merupakan kebangkitan kembali secara sadar pemikiran relativisme Protagoras, yang ditafsirkan bahwa setiap manusia standard dan ukuran segala sesuatu. Apabila terjadi perbedaan opini diantara mereka dalam suatu masalah , maka tidak ada apa yang disebut “kebenaran obyektif’, sehingga tidak boleh dikatakan yang satu benar dan yang lain salah”. Diantara tokoh yang mengusung konsep ini antara lain adalah F.C.S Schiller (1863-1937), Bertrand Russel. August Comte (1798-1857).10

 

2. Teologi Global

Pengaruh “globalisasi” luar biasa dahsyat dan komplek dalam mengubah kehidupan manusia dengan segala aspeknya diluar apa yang dibayangkan sebelumnya. Ia telah menyebabkan luntur, dan bahkan lenyapnya jati diri dan nilai-nilai suatu kultur atau budaya. Globalisasi juga telah mempengaruhi secara nyata dan sangat signifikan munculnya gagasan-gagasan dan wacana-wacana teologis baru yang sangat radikal, yang intinya menganjurkan bahwa tidak perlu bersikap resisten dan menentang globalisasi dan globalisme yang sudah nyatanyata tak mungkin dihindari. Manusia harus mengubah dan merombak pemikiranpemikiran dan keyakinan-keyakinan agama tradisional agar seirama dengan semangat zaman dan nilai-nilainya yang diyakini “universal”.

________________________

 

  1. Lihat Fatwa MUI dalam majalah Media Dakwah No. 358 Ed. Sya’ban 1426 H/September 2005, hal. 49.
  2. Anis Malik Thoha, Tren …, hal. 49-108

 

 

 

Berdasarkan perkembangan global ini menurut John Hick memprediksi bahwa secara gradual akan terjadi proses konvergensi cara-cara beragama dimasa yang akan dating, sehingga pada suatu ketika agama-agama ini akan lebih menyerupai sekte yang beragam dalam Kristen di Amerika Utara dan Eropa saat ini daripada merupakan entitas-entitas yang ekslusif secara radikal. Wacana atau pemikiran keagamaan lintar kultur ini, menurut Hick yang dikutip Anis harus dibungkus dalam kemasan yang ia sebut global theology.11

 

3. Singkritisme

Tren sinkritisme adalah suatu kecendrungan pemikiran yang berusaha mencampur dan merekonsiliasi berbagai unsur yang berbeda-beda (bahkan mungkin bertolak-belakang) yang diseleksi dari berbagai agama dan tradisi, dalam suatu wadah tertentu atau dalam salah satu agama yang ada (berwujud suatu aliran baru). Gagasan ini antara lain diusung oleh Friedrich Heiler dan Arnold Toynbee. Dalam sebuah konfrensi Asosiasi Sejarah Agama Internasional di Tokyo pada bulan September 1958, ia melontarkan gagasan bahwa “mewujudkan persatuan seluruh agama” merupakan satu tugas penting Ilmu Perbandingan Agama. Selanjutnya Arnold Toynbee menyatakan dalam salah satu bab bukunya An Historian’s Approach to Relegion “Misi agama-agama besar tidaklah kompetitif, melainkan komplementer atau saling melengkapi. Kita bisa meyakini agama kita sendiri tanpa harus menganggapnya sebagai satu-satunya wadah kebenaran (truth). Kita bisa mencintainya tanpa harus merasakan bahwa ia satusatunya

jalan keselamatan.12

 

4. Hikmah Abadi (Shophia Perennis)

Tema utama Himah Abadi adalah “hakikat esoteric” yang merupakan asasdan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan dalam bentuk “hakikat-hakikat exsoteric” dengan bahasa yang berbeda. Hakikat yang pertama adalah “hakikat transcendent” yang tunggal, sementara yang kedua adalah’hakikat relegius” yang merupakan manifestasi eksternal yang beragam dan saling berlawanan dari hakikat transcendent tadi. Cara pandang ini kemudian menjadi pakem Hikmah Abadi dalam memandang segala realitas pluralitas agama. Dengan kata lain bahwa agama terdiri dari dua hakikat atau dua realitas, yakni esoteric dan exsoteric (esensi dan bentuk) Dua hakikat ini dipisah antara keduanya oleh suatu garis horizontal; dan bukan pertikal, sehingga memisahkan antara yang satu dengan yang lain (Hindu-Budha-Kristen-Islam dan sebagainya).

 

______________________

 

  1. Syamsul Hidayat, Studi Agama dalam Pandangan Al-Qur’an, Hasil penelitian, 2001, hal.103.
  2. Alwi Shihab, Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam, (ed). Sururin, Bandung: Nuansa, 2005,

hal. 15-20.

 

 

 

Yang berada di atas garis adalah hakikat bathiniyah (esoteric) dan yang berada di bawah adalah hakikat lahiriyah (exsoteric). Meskipun secara lahiriyah agama berbeda-beda tetapi secara bathiniyah semua agama menuju pada yang satu yakni Tuhan. Tokoh yang mengusung tren ini adalah Frithjof Schuon dan Sayyed Hosein Nasr. Nasr sebagaimana yang dikutip Anis berpendapat : ” memeluk ataumengimani agama apapun, kemudian mengamalkan ajaran-ajarannya secarasempurna berarti memeluk dan mengimani semua agama,…13

 

 

5. Truth Claim Kebenaran Agama.

Padangan yang sepakat adanya truth claim berpendapat bahwa sebagaipenganut agama, manusia tidak dapat mengetepikan hubungan kitab sucidengan truth claim, Agama tanpa truth claim ibarat pohon tak berbuah. Tanpa adanya truth claim yang oleh Whitehead disebut dogma, atau Fazlur rahman disebut normatif (transcendent aspect), maka agama sebagai bentuk kehidupan (form of life) yang distinctive tak akan punya kekuatan simbolik yang menarik pengikutmya. Whitehead menyimpulkan bahwa baik dalam agama maupun ilmu pengetehuan, truth claim yang terbungkus dogma adalah sah. Dogma dalam agama merumuskan kebenaran pengalaman beragama, sedang dogma dalam ilmu pengetahuan mengungkap kebenaran pengamatan rasional. Klaim kebenaran (truth –claim) bagi agama adalah sesuatu yang alami atau natural. Lebih dari itu ia merupakan esensi jati diri sebuah agama.14

Oleh karena itu solusi apapun yang dimaksud untuk menyelesaikan problem pluralitas klaim kebenaran yang saling bertentangan (conflicting truth claim) tidak boleh menggangu gugat keunikan dan eksklusivitas ini, baik dengan cara Amin Abdullah,

reduksi, distorsi atau relativisasi, apalagi dengan negasi. Sebab hal ini akan membunuh karakter atau jati diri agama itu sendiri. Islam dengan konsep Hanifisme-nya memberikan solusi teologis yang paling rasional dan humane.Sedangkan secara praktis fiqhiyyah, Islam memberikan pula, yaitu dengan konsep “plurality of laws” dimana setiap pemeluk agama menikmati pemerintahan “otonomi” sesuai dengan keyakinan masing-masing.15

 

­­­____________________________

 

  1. 13.    Nurchalish Madid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tnetang Masalah

Keimanan, Kemanusiaan dan kemoderenan, Jakarta: Paramadina, 2004), Cet. IV hal. 47

  1. Amin Abdullah dalam Hidayat, hal. 104.
  2. Syamsul Hidayat, Studi Agama dalam Pandangan Al-Qur’an, Hasil penelitian, 2001, hal.

103.

 

 

 

 

 

 

 

 

Dengan demikian, Islam telah memberikan “yang paling maksimal” kepada agama lain yang tidak ada bandingannya dalam sejarah. Perbedaan mendasar antara teori-teori Islam dan pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis terhadap isu dan penomena pluralitas agama. Islam memandangnya sebagai hakikat ontologism yang genuine, yang tidak mungkin dinafikan atau dinihilkan, sementara teori-teori pluralis melihatnya sebagai keagamaan yang hanya terjadi pada level manifestasi eksternal yang superfisial dan oleh karenanya tidak hakiki atau tidak genuine,.

Perbedan metodologis ini pada gilirannya akan mengiring pada perbedan dalam menentukan solusinya. Islam menawarkan solusi praktis sosiologis-oleh karenannya lebih bersifat fiqhiyah,sementara teori-teori pluralis memberikan solusi teologis efistimologis. Kelompok yang tidak setuju, berpendapat bahwa klaim kebenaran daneksklusifisme secara sepihak, dicela oleh Al-Qur’an (Al-Baqarah [2]: 113)sebaliknya al-Qur’an mengajarkan ingklusifitas dalam beragama (QS Ali Imran [3]: 84). Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa adanya perpecahan dan perbedan agama tersebut disebabkan oleh wahyu-wahyu Allah yang disampaikan oleh para nabi, yang ini merupakan sunah dan rahasia Allah.50 Al- Qur’an mengajarkan paham kemajemukan keagaman (religiousitas plurality). Ajaran itu tdak perlu diartikan sebagai secara langsung pengakuan akan kebenaran semua agama dalam bentuk yang nyata sehari-hari (dalam hal ini bentuk-bentuk nyata keagamaan orang-orang muslimpun banyak yang tidak benar), karena secara prinsipil bertentangan dengan ajaran dasar kitab suci Al-Qur’an seperti sikap pengkultusan kepada sesama manusia dan makhluk lain (baik yang hidup maupun yang mati). Akan tetapi ajaran kemajemukan itu menandaskan pengertian dasar bahwa semua agama diberikan kebebasan untuk hidup, dengan resiko yang akan ditanggung oleh para penganut agama itu masing-masing baik secara pribadi atau kelompok.16

 

  1. PENUTUP

 

Pluralitas termasuk pluralitas agama pada dasarnya merupakan sebuahrealitas dalam kehidupan dunia. Al-Qur’an mengakui secara tegas adanya pluralitas (keberagamaan) dalam berbagai aspek kehidupan dengan berbagai argumentasi ayat al-Qur’an. Terminologi pluralisme atau dalam bahasa Arabnya, “al-ta’addudiyyah”,tidak dikenal secara popular dan tidak banyak dipakai dikalangan Islam kecuali sejak kurang lebih dua dekade terakhir abad ke 20 yang lalu, yaitu ketika terjadi perkembangan penting dalam kebijakan internasional Barat yang baru yang memasuki sebuah pase yang dijuluki Muhammad Imarah sebagai “marhalat alijtiyaah”(fase pembinasaan). Yaitu sebuah perkembangan dalam upaya Barat yang habis-habisan guna menjajakan ideology modernnya yang dianggap universal, seperti demokrasi, pluralisme, HAM dan pasar bebas dan mengekspornya untuk konsumsi luar guna berbagai kepentingan yang beragam.

 

______________________

 

  1. Anis Malik Toha, Wacana…,.op.cit. hal.77.

Tidak adanya terminology pluralitas dalam agama secara verbal dalam teks-teks suci, al-Qur’an maupun al-Sunnah serta kitab-kitab klasik, sama sekali tidak menunjukan tidak-adanya konsep atau teori tentang pluralitas agama dalam Islam.Hanya saja harus diakui, sebagian besar konsep atau teori ini tidak dituangkanatau dikupas dalam bentuk karya independent. Gagasan Pluralisme Agama lahir dan muncul dari paham “liberalisme politik” dan merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen sekaligus merupakan gerakan reformasi pemikrian liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abd ke 19 dalam gerakan “Liberal Protestantism”. Teori-teori yang mendasari lahirnya paham Pluralisme agama dapat diklasifikasi dalam empat kategori yakni Humanisme Sekuler, Teologi Global, Sinkretisme dan Sophia Perennis. Dalam hal pluralitas agama, Islam memberikan kebebasan untuk memilih dan meyakini serta beribadah menurut keyakinan masing-masing.

Pemilihan sebuah keyakinan merupakan pilihan bebas yang bersifat personal. Meskipundemikian , manusia diminta untuk memilih dan menegakkan agama fitrah. Meskipun Islam mengakui adanya pluralitas akan tetapi menolak ide pluralisme agama (kesatuan agama-agama). Toleransi dalam Islam tidak berarti pluralisme agama, saling menghargai dan menghormati antar penganut agama atau paham tidak berarti menganggap semua agama adalah sama lebih-lebih dengan mengatasnamakan Islam. Pada surat Ali-Imran [3]: 19 ini secara tidak langsung dapat dipahami bahwa klaim kebenaran pada dasarnya boleh-boleh saja.

Truth Claim masing-masing agama adalah sifat jiwa ke dalam, tidak menuntut pernyataan atau kenyataan di luar bagi yang tidak meyakininya dalam arti silahkan masing-masing untuk mengatakan bahwa agamanya yang paling benar tetapi menurut keyakinannya masing-masing.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Abdullah, M.Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar,1999, Cet. II

 

Wahid, Jakarta: kerjasama Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, dan Ford

Foundation , 1999.

 

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung: CV. Jumaaanatul ‘Ali, 2004.

el-Ijtima: Jurnal Media Komunikasi Pengembangan Masyarakat Madani, LPM IAIN

Sunan Ampel Surabaya, Vol. 3.No. 2 Juli-Desember 2002

 

Hidayat, Syamsul. Studi Agama dalam Pandangan Al-Qur’an, (Hasil penelitian, 2001,)

Imarah, Muhammad. Islam dan Pluralitas: Perbedaan dan Kemajemukan dalam

Bingkai Persatuan, Jakarta: Gema Insani Press, 1999.

 

Mansur, Peradaban Islam Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta, Global Pustaka

Utama, 2004, Cet. I

 

Madjid, Nurchalish. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis Tnetang

Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemoderenan, Jakarta:

Paramadina, 2004), Cet. IV

 

Majalah Media Dakwah, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, edisi No. 358 Sya’ban

1426 H- September 2005

 

Saifuddin, Upaya Mempertemukan Realitas Dalam Pluralitas Sosial Budaya, Jurnal Suhuf , No.01 tahun XII, 2000,

 

Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1998, Cet. VIII.

 

———-, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1999, Cet. XX.

 

Syafi’i Ma’arif, Ahmad. Al Qur’an, Realitas Sosial dan Lombo Sejarah, Bandung:

Pustaka, 1985.

 

Thoha, Malik, Anis, Tren Pluralisme Agama, Tinjauan kritis, Jakarta, Perspektif,

2005, cet. I.

 

 

Tinggalkan komentar