RSS

Budaya dan Perilaku Politik sebagai Bias Pendidikan

Budaya dan Perilaku Politik sebagai Bias Pendidikan

 By Salwinsah, S.Ag

DUNIA pendidikan kita saat ini dihadapkan dengan perasaan campur baur, antara rasa bangga, tetapi ada pula yang menimbulkan rasa sedih dan iba. Di tengah kesibukan menggagas kemajuan pendidikan, kita dihidangkan dengan beraneka peristiwa politik yang menampakkan wajah tak sedap dalam dunia perpolitikan kita. Kerusuhan dalam rangka pilkada, misalnya, bupati terpilih yang digugat, kongres partai politik yang dinamakan islah, tetapi penuh percekcokan, dan pernyataan tokoh-tokoh politik yang tidak jelas maksud dan tujuannya. Hari ini bilang “A”, beberapa hari kemudian bilang “B”. Kita menyaksikan perilaku politik Indonesia dalam format yang belum menampakan ke arah kemajuan secara signifikan.

Lalu di antara kita ada yang bertanya, “Masih adakah yang dapat dilakukan oleh dunia pendidikan guna menjamin datangnya generasi politik yang lebih santun dan lebih bertanggung jawab di masa depan?” Untuk menjawab pertanyaan ini, melahirkan serangkaian diskusi, perdebatan, dialog atau seminar, dan menghasilkan pandangan-pandangan antara optimistis, pesimistis, bahkan ada yang berpandangan sinis.

Sumber Perilaku Politik

Sumber perilaku politik pada dasarnya adalah budaya politik, yaitu kesepakatan antara pelaku politik tentang apa yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Kesepakatan ini tidak selalu bersifat terbuka, tetapi ada pula yang bersifat tertutup. Kesepakatan untuk menerima “amplop” setiap kali dilakukan pembahasan Rencana Undang-Undang (RUU) merupakan kesepakatan gelap. Membayar “uang pelicin” kepada para petinggi politik untuk mendapatkan dukungan partai dalam rebutan jabatan bupati, wali kota, dan gubernur merupakan tindakan yang dianggap “sah” dalam budaya politik kita sekarang.

Suatu budaya politik biasanya berlaku selama periode tertentu. Ketika datang perubahan penting dalam konstelasi politik, datang pula para pelaku baru dalam gelanggang politik, terbukalah kesempatan untuk memperbarui budaya politik.

Di negara kita budaya politik para perintis kemerdekaan berbeda dari budaya politik pada zaman demokrasi parlementer, dan ini berbeda dengan budaya politik yang tumbuh dalam zaman Orde Baru. Zaman reformasi ini juga melahirkan budaya politik baru, yang kemudian melahirkan perilaku politik yang menyusahkan dan membingungkan banyak orang. Masih ada di kalangan budaya politik kita yang disebut dengan istilah “budaya politik aji mumpung”.

Apa hubungan budaya politik dengan pendidikan?

Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik itu sendiri. Dan apa yang akan ditentukan oleh pelaku politik merupakan ciri utama budaya politik mereka sampai batas tertentu, dipengaruhi oleh pendidikan mereka. Jadi hubungan antara budaya politik dan pendidikan bersifat tidak langsung. Ini berarti pendidikan tidak secara final membentuk pelaku politik. Pendidikan memberi dasar-dasar kepada tiap calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar kemungkinan (probabilitasnya) akan lahir pelaku-pelaku politik yang baik. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek dan rapuh, kemungkinan besarnya ialah yang akan muncul di kemudian hari adalah pelaku-pelaku politik yang jelek dan rapuh pula.

Berdasarkan generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik berbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang kurang memadai.

Dalam masyarakat kita, misalnya, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan pesantren yang baik, berbeda perilakunya dari pelaku politik yang datang dari pendidikan pesantren yang kurang terpelihara atau dari latar belakang pendidikan yang berbau aristokrasi dan meritokrasi feodal atau militer.

Dulu, di Malaysia, para pelaku politik dengan latar belakang pendidikan British berbeda sepak terjang politiknya dari pelaku politik dengan latar belakang pendidikan Melayu. Di Inggris para politikus dengan latar belakang pendidikan elitis berbeda perilakunya dan budaya politiknya mereka yang datang dari kalangan pendidikan yang kurang beruntung.

Sosok pendidikan

Lalu bagaimana sosok pendidikan (kontur pendidikan) yang dapat menjadi landasan ideal kehidupan politik? Ini tergantung bagaimana kita men-definisi-kan “kehidupan politik” yang ideal. Namun, secara umum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon politik disebut “pendidikan manusia seutuhnya”.

Dalam idiom modern, ini ialah pendidikan yang membimbing anak menjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini, jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak muda yang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan, memiliki kepekaan sosial, secara sukarela taat kepada norma-norma, dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif. Menurut para ahli, pendidikan seperti ini memerlukan waktu empat belas tahum. Dalam sistem kita itu berarti pendidikan dari tingkat SD hingga sarjana muda atau D-2/D-3.

Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya akan lahir insan-insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan perilaku politik yang lebih santun dalam negara kita. Untuk kebutuhan ini maka di masa depan kewajiban belajar bagi anak-cucu perlu ditingkatkan dari 9 menjadi 15 tahun. Juga di masa depan perlu diadakan ketentuan khusus, untuk menjadi anggota DPRD dan DPR Pusat diperlukan paling tidak ijazah D-2 atau D-3. Jadi perjalanan yang harus ditempuh sistem pendidikan kita masih panjang sebelum lahir generasi politik yang lebih cakap, lebih santun, dan lebih bertanggung jawab daripada yang ada sekarang.

Semua orang sepakat, faktor pendidikan sangat menentukan kearipan dan kebijakan jiwa seseorang dalam bertindak. Apalagi ia diamanatkan untuk mewakili rakyat ramai yang asal-muasal pendidikannya bervariatif.

Dapatkah ini tercapai? SEMOGA!

*****

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan komentar