RSS

Rabi’ah al ‘Adawiyyah

Rabi’ah al ‘Adawiyyah

BAB. I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
“Aku mengabdi kepada Tuhan tidak untuk mendapatkan pahala apa pun. Jangan takut pada neraka, jangan pula mendambakan surga. Aku akan menjadi abdi yang tidak baik jika pengabdianku untuk mendapatkan keuntungan materi. Aku berkewajiban mengabdi-Nya hanya untuk kasih sayang-Nya saja. Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu yang abadi kepadaku.”
Ratusan tahun lalu sufi besar, Rabiah Al Adawiyah, mengungkapkan kalimat bijak yang kemudian dikenal sebagai konsep ‘Mahabbah’-nya itu. Bukan apa-apa, memang. Bagi Rabiah, ibadah dilakoninya semata kasih sayang Tuhan kepada dirinya. Kasih sayang itu, kata Rabiah, mutiara paling berharga bagi manusia, jika saja manusia itu mengetahui rahasia di baliknya.
Islam memuat tiga dimensi dasar yang harus dimiliki setiap muslim, yaitu iman, Islam dan ihsan. Para ulama yang berjasa mempertahankan kesucian agama Islam juga dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama bertugas memelihara dan mempertahankan kedudukan dasar-dasar iman. Kelompok kedua bertugas menjaga kedudukan Islam dan pokok-pokok ajarannya. Sedangkan yang ketiga adalah kelompok penjaga kedudukan ihsan.
Makalah ini mencoba membahas kelompok ketiga, yang biasa dikenal sebagai para sufi, dengan ajaran tasawufnya. Khususnya ajaran sufi perempuan Rabi’ah al-Adawiyah tentang Cinta Illahi.
Ciri utama para sufi ialah usahanya yang gigih untuk mencapai puncak makrifat, hingga pada “pertemuan” dengan Allah. Untuk tujuan itu timbullah berbagai usaha merintis jalan untuk mencapainya. Pada mulanya zahid Hasan Basri menempuh zuhud dengan jalan khauf. Kemudian oleh Rabi’ah al-Adawiyah, khauf ditingkatkan pada cinta Illahi yang banyak mewarnai para sufi di zaman-zaman selanjutnya.
Dalam perkembangan zuhud terdapat dua golongan zahid. Satu golongan zahid meninggalkan kehidupan dunia serta serta kesenangan material dan memusatkan perhatian pada ibadah karena didorong oleh perasaan takut akan masuk neraka di akhirat kelak. Tuhan dipandang sebagai suatu dzat yang ditakuti, dan perasaan takutlah yang menjadi pendorong mereka. Satu golongan lain didorong oleh perasaan cinta kepada Tuhan. Bagi mereka, Tuhan bukanlah dzat yang harus ditakuti dan dijauhi, namun harus dicintai dan didekati. Maka mereka meninggalkan kehidupan duniawi dan banyak beribadah karena ingin mendekatkan diri kepada Tuhan.
Kalangan sufi yang termasuk dalam kalangan ini adalah Rabiah al-Adawiyah, dengan konsep pemikiran tasawufnya yaitu mahabbah illahiyah (kecintaan kepada Tuhan). Seorang wanita sufi dari Basrah yang terkenal dengan ibadah dan kedekatannya dengan Allah Swt dengan memasukkan konsep kecintaan terhadap Tuhan dalam dunia tasawuf.
Cinta yang tumbuh karena cerahnya mata batin dalam melihat kemakhlukan diri, serta kesadaran akan kasih sayang Allah yang selalu dirasakan tak pernah berhenti membelai dirinya. Begitu dalam cinta tersebut sehingga kadang merasa mampu bersatu dengan Tuhan. Rabi’ah sendiri menolak lamaran karena tidak mau membagi cintanya kepada selain Allah, sehingga dia disebut Perawan Suci dari Basrah.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis berusaha merumuskan pokok-pokok pembahasan sebagai berikut :
 Riwayat hidup Rabi’ah al-Adawiyyah
 Konsep tasawuf dan kehidupan zuhud yang ditempuh

BAB II
PEMBAHASAN

A. Riwayat Hidup Rabi’ah al-Adawiyyah
Nama lengkapnya ialah Rabiah al-Adawiyah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah, juga digelari Ummu al-Khair. Dia disebut Rabi’ah karena ia putri keempat dari Ismail. Sedangkan Adawiyah adalah karena dia berasal dari bani Adawiyah. Ia lahir di Bashrah tahun 95 H dan meninggal pada tahun 185 H dan dimakamkan di Bashrah. Ia dilahirkan sebagai putri keempat dari keluarga yang sangat miskin. Itulah sebabnya orang tuanya menamakan Rabi’ah. Kedua orang tuanya meninggal ketika ia masih kecil. Diceritakan bahwa sejak masa kanak- kanak ia telah hafal al-Quran dan sangat kuat beribadah serta hidup sederhana. Ajarannya dikenal dengan istilah teori hubb (cinta) kepada Allah SWT ada yang menyebutnya “al-hubb”. Sumber lain mengatakan bahwa, Rabiah al-Adawiyah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Basrah, di Irak. Ada para ahli yang menyebut Basra dan ada lagi yang menyebutnya Basrah, selanjutnya penulis menyebutnya Basrah .
Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai zahidah dan sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Ia memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan dan menolak segala bantuan materi yang diberikan oleh orang lain kepadanya. Bahkan dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan .
Pada akhir kurun pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalam pemerintahan Bani Umaiyah yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaan telah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramai berlumba-lumba mencari kekayaan. Justeru itu kejahatan dan maksiat tersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakin diagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara’ serta zuhud hampir lenyap sama sekali.
Namun begitu, Allah telah memelihara sebilangan kaum Muslimin agar tidak terjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada masa itulah muncul satu gerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasan al-Bashri. Pengikutnya terdiri daripada lelaki dan wanita. Mereka menghabiskan masa dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasi segala tuntutan hawa nafu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagai hamba yang benar-benar taat.
Suatu ketika, Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengan keluarganya. Sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi’ah memandang ayahnya seraya berkata, “Ayah, yang haram selamanya tak akan menjadi halal. Apalagi karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkah kepada kami.” Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi’ah. Makanan yang sudah di mulut akhirnya tak jadi dimakan. Ia pandang Rabi’ah dengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambil tersenyum, si ayah lalu berkata, “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu, jika tidak ada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?” Rabi’ah menjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebih baik daripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.” Ayahnya tentu saja sangat heran mendengar jawaban Rabi’ah, karena jawaban seperti itu hanya didengarnya di majelis-majelis yang dihadiri oleh para sufi atau orang-orang saleh. Tidak terpikir oleh ayahnya, bahwa Rabi’ah yang masih muda itu telah memperlihatkan kematangan pikiran dan memiliki akhlak yang tinggi.
Menjelang dewasa, ujian tak jua berhenti menerpanya. Keadaan itu semakin buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Konon pada saat terjadinya bencana perang di Basrah, ia dilarikan penjahat dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Banu Adwah. Dari sini ia dikenal dengan al-Qaisiyah atau al-Adawiyah. Pada keluarga ini ia bekerja keras, namun kemudian ia dibebaskan karena tuannya melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah dan menerangi seluruh ruangan rumah pada saat ia sedang beribadah. Sejak kecil Rabi’ah memang berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggi serta keimanan yang mendalam. Cinta dan gairah Rabi’ah kepada Allah sangat dalam, hingga tidak ada satupun ruangan yang tertinggal di hati maupun pikirannya untuk pikiran atau kepentingan lain. Rabi’ah hidup zuhud dan sangat dekat dengan Tuhan. Banyak beribadah, bertaubat, menjauhi hidup duniawi dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang kepadanya.
Rabi’ah al-Adawiyah telah dewasa dalam tapaan, dan tidak pernah berpikir berumah tangga. Bahkan akhirnya memilih hidup zuhud, menyendiri, beribadah kepada Allah. Ia tidak pernah menikah, karena ia tidak ingin perjalanannya menuju Tuhan mendapat rintangan. Perkawinan, baginya adalah rintangan. Ia pernah memanjatkan doa : “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari segala perkara yang menyibukkanku untuk menyembah-Mu. Dan dari segala penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.”
Memasuki usia lebih dari 90 tahun, Rabi’ah, wanita sufi Basrah yang terkenal dengan ibadah, kedekatan, dan kecintaannya kepada Tuhan, menurut riwayat, beliau wafat tahun 185 H/801 M. Banyak yang mengatakan bahwa beliau dikuburkan dekat kota Yerussalem, namun terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini. Mayoritas ahli sejarah meyakini bahwa kota kelahirannya adalah tempat beliau dikubur.

B. Konsep Tasawuf Dan Kehidupan Zuhud Yang Ditempuh
Rabiah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-sajak berkualitas tinggi. Rabiah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakekat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang azali. Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan pada Tuhan.
Rabiah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Defenisi cinta menurut Rabiah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia mengajarkan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua, ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”. Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi Allah tanpa hijab. Rabiah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam.
Cinta Rabiah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia berujar:
Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi, jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku keindahan abadi-Mu.
Kecintaan Rabi’ah kepada Allah mengalahkan hidup dan kecintaanya kepada dunia dan isinya, hari-harinya habis untuk berkomunikasi dengan Allah betapa dia merasa dirinya adalah milik Allah hingga ada beberapa pemuda ingin melamarnya ditolaknya dengan halus.
Di antara mereka yang mencoba membujuknya untuk menikah adalah Abdul Wajid bin Zaid, yang termasyur dalam kezuhudan dan kesucian hidupnya, seorang ahli ilmu agama, seorang khatib, dan penganjur hidup menyepi bagi siapa saja yang mencari jalan kepada Tuhan. Rabi’ah menolak lamarannya dan berkata : “Hai orang yang sangat bernafsu, carilah wanita lain yang juga sangat bernafsu sebagaimana dirimu. Apakah kau melihat ada tanda birahi dalam diriku?”
Muhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, Amir Abbasiyah untuk Basrah pada saat itu, juga pernah melamar Rabi’ah. Setelah mendiskusikannya dengan para pejabat di Basrah, dia menawarkan mas kawin seratus ribu dinar dan menulis surat kepada Rabi’ah bahwa dia memiliki gaji sepuluh ribu dinar tiap bulan dan semua itu akan dilimpahkan kepada Rabi’ah. Tetapi Rabi’ah membalas surat itu dengan : “Hal itu tidaklah menyenangkanku, kamu akan menjadi budakku dan semua yang kau miliki akan menjadi milikku, atau kamu akan memalingkan aku dari Tuhan dalam sebuah pertemuan abadi.”
Kisah lain menceritakan Hasan Basri yang dalam sebuah majelis sufi, mendesak Rabi’ah agar memilih seorang di antara para sufi sebagai suami. Rabi’ah memberikan jawaban : “Ya, baiklah. Siapa yang pandai di antara kalian, yang memungkinkan aku akan menikah dengannya?” Para sufi sepakat menjawab : “Hasan Basri.” Lalu Rabi’ah mengajukan empat pertanyaan : ”pertama, apakah hakim dunia akan bertanya saat aku mati? Adakah aku saat meninggal dunia dalam keadaan muslim ataukah kafir? Kedua, kapan aku masuk dalam kubur, dan jika Munkar-Nakir menanyaiku, mampukah aku menjawab mereka? Ketiga, kapan manusia dikumpulkan pada hari kebangkitan dan buku-buku dibagikan? Berapa yang menerima buku dengan tangan kanan dan berapa dengan tangan kiri? Keempat, kapan umat manusia dikumpulkan pada hari pengadilan, berapa yang masuk surga dan berapa yang ke neraka, di antara kedua kelompok itu, kelompok manakah aku?” Hasan Basri tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut karena hanya Allah yang mengetahuinya. Kemudian Rai’ah berkata : “Karena aku mempunyai empat pertanyaan yang merupakan keprihatinan pribadiku, bagaiman aku akan menemukan seorang suami yang tidak dapat menjadi tempat bersandar?”
Beliau selalu berbicara dengan Allah seolah-olah dekat sekali dengan Allah dengan bahasa-bahasa yang indah dan do’a-do’a yang sangat menusuk hati dan kata pujian seperti layaknya kerinduan seseorang kepada kekasih hatinya. Sebagaimana do’a Rabi’ah kepada Allah dengan kecintaan yang sangat mendalam:
Wahai Tuhanku!, tenggelamkanlah aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak membimbangkan aku dari pada-Mu. Ya Tuhan, bintang di Langit telah gemerlapan, mata telah bertiduran, pintu-pintu istana telah dikunci dan tiap pencinta telah menyendiri dengan yang dicintainya, dan inilah aku berada di hadirat-Mu. Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera datang, aku gelisah apakah amalanku Engkau terima hingga aku merasa bahagia, apakah engkau tolak sehingga aku merasa sedih. Demi Kemahakuasaan-Mu, inilah yang aku lakukan sehingga engkau beri hayat (hidup). Sekiranya engkau usir aku dari hadapan-Mu aku tidak akan pergi, karena cinta pada-Mu telah memenuhi hatiku.

Pada suatu ketika, Rabi’ah al-Adawiyah pernah ditanya oleh al- Tsauri, apakah hakekat iman engkau ?. Rabiah al- Adawiyah menjawab, aku menyembah-Nya bukan karena takut siksaan neraka-Nya, dan bukan pula karena ingin masuk surga-Nya, karena dengan demikian jadilah aku bagaikan menerima upah yang jahat, tetapi aku menyembah-Nya semata- mata cinta dan rindu kepada-Nya. Lebih lanjut, hal ini tergambar dalam syair Rabi’ah al-Adawiyah yang berbunyi :
“Tuhanku, jika kupuji engkau karena takut neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya. Dan jika ku puji engkau karena mengharap surga-Mu jauhkanlah aku dari padanya. Tetapi bila ku puji Engkau karena semata- mata karena Engkau, maka jangan lah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dari ku”.

Ada orang bertanya kepada Rabi’ah, apa pendapatmu tentang surga ?. dia menjawab: “yang penting tangga dulu baru rumah (surga)”.jawaban yang singkat dari Rabi’ah mengandung makna bahwa yang terpenting adalah beramal terlebih dahulu baru mengharap balasan. Disana juga tersirat bahwa beramal adalah urusan manusia sedangkan balasan serahkan saja kepada kehendak Allah SWT terhadap amalan manusia tersebut.
Dengan demikian jelaslah bahwa konsep al-hubb berdasarkan pengalaman Rabi’ah al-Adawiyah dalam ritual tasawufnya adalah dengan menjadikan Allah sebagai segala- galanya, tidak ada yang melebihi dari-Nya sesuatu pun makhluk yang telah Ia ciptakan. Semua perhatian dan pikiran selalu tercurah kepada-Nya sebagai bukti cinta- kasih hanya semata-mata untuk-Nya. Bahkan pengabdian hidup yang diwujudkan dalam bentuk ibadah bukanlah untuk mengharapkan balasan apa-apa dari-Nya, baik berupa surga maupun takut karena siksa neraka. Namun pengabdian itu semata-mata karena Allah kekasih yang paling dicintainya. Semuanya bertujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bahkan hingga mencapai persatuan dengan-Nya.
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia’ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi’ah berusaha mengajarkan generasi Muslim sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu rendah. Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi’ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan hingga akhir hayatnya.
Rabia’ah al-Adawiyah, telah memilih jalan hidup dengan cara zuhud dan beribadah kepada Allah. Selama hidup ia tidak pernah menikah, walaupun ia seorang wanita yang cantik dan menarik. Juga seorang yang cerdas dan luas ilmunya. Rabi’ah sadar kalau perkawinan adalah perintah agama. Pada suatu ketika seorang sahabat bertanya kepada Rabi’ah, mengapa Anda tidak mau menikah ?. Rabi’ah menjawab; ada tiga keprihatinanku. Bila ada orang yang bisa menghilangkan keprihatinanku tersebut, maka aku akan menikah dengannya. Kemudian ia mengemukakan ketiga masalah tersebut; pertama, apa bila aku meninggal dunia, maka aku akan menghadap Tuhanku, apakah dalam keadaan beriman atau suci ?, kedua, apakah aku akan menerima kitab amalanku dengan tangan kanan ku ?. ketiga, bila datang hari kiamat, dan orang- orang dari kelompok kanan telah masuk surga dan kelompok kiri masuk neraka. Maka dalam kelompok manakah aku ?. orang itu menjawab : “aku tidak tahu apa- apa tentang pertanyaanmu itu, masalah itu hanya diketahui oleh Allah SWT. Rabi’ah berkata: jika demikian halnya maka aku akan tetap dalam keadaan cemas dan prihatin. Bagaimana aku akan mampu berumah tangga. Alasan Rabi,ah tersebut menggambarkan bahwa memang tidak ada niat baginya untuk membagi cinta kepada Allah dengan makhluk ciptaan-Nya.
BAB III
KESIMPULAN

Rabi’ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa tersendiri dalam dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah. Sebuah konsep pendekatan diri kepada Tuhan atas dasar kecintaan, bukan karena takut akan siksa neraka ataupun mengharap surga. Cinta Rabiah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan. Rabiah adalah seorang zahidah sejati. Beliau merupakan pelopor tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakekat tasawufnya adalah habbul-ilāh (mencintai Allah SWT).
Terlepas dari benar atau salahnya riwayat tersebut, disana menggambarkan bahwa sangat sederhananya kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah di atas dunia. Selanjutnya juga tergambar kesabaran yang sangat agung dari dirinya, walaupun datangnya seseorang ke rumahnya untuk membinasakan diri rabiah sendiri namun dibalasnya dengan doa dan rasa kasih saying kepada sang pencuri tersebut. Dari kebersihan hati dan jiwanya sangat tepatlah kalau yang menjadi tujuan hidupnya adalah keredhaan Allah semata.

DAFTAR PUSTAKA

Alberry, A.J. 1985. Pasang Surut Aliran Tasawuf, diterjemahkan oleh Bambang Herawan, dari judul asli : Sufism; An Account of the Mystics of Islam. Bandung : Mizan,. cet. ke-1.

Anwar, Rosihan. 2006. Ilmu Tasawuf. Cet.III. Bandung: Pustaka Setia.

Anwar, Rosihan, dan Mukhtar Solihin. 2006. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.

Azizy, Ahmad Qodri Abdillah,dkk., 2001. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Akar Dan Awal, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jilid VII.

Asfari MS. Dan Otto Sukatno CR., 1997. Mahabbah Cinta Rabi’ah al-Adawiyah. Cet. I. Jogjakarta: Bentang Budaya.

Hamka. 1984. Tasawuf Perkembangan Dan Pemurniannya. Jakarta: Pustaka Panjimas. cet. ke- 11.

Mardiah, Siti. 2010. Rabi’ah Al Adawiyah (Makalah). Disampaikan pada seminar dengan mata kuliah “Pemikiran Kalam dan Tasawuf” program Pasca Sarjana IAIN STS Jambi, prodi PAFI Semester I.

Nasution, Harun. 2002. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UI Press. Ed. II, cet. ke-1.

_____________. 2002. Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I. Jakarta: Djambatan.

Nasr, Seyyed Hosein. Islamic Spirituality Foundation. Diterjemahkan oleh Rahmani Astuti. 2002. Ensiklopedi Tematis Spiritualitas Islam. Bandung: Mizan.

Siregar, A.Rivay. 2002. Tasawuf Dari Sufisme Klasik Ke Neo-Sufisme, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. cet. ke-2.

 

3 responses to “Rabi’ah al ‘Adawiyyah

  1. Siti Aminah

    4 Maret 2015 at 10:12 am

    Subhanallah

     
    • salwintt

      14 Maret 2015 at 12:45 am

      terima kasih kunjunnnya

       
  2. Teddy Yusuf

    28 Desember 2018 at 12:58 pm

    Surface structure dari cinta kepada Allah Swt idealnya dimanifestakan dalam bentuk mengandung seorang anak, melahirkan, merawat, mendidik dan membesarkannya, fitrah yang tidak menyalahi fungsi kosmologis.

     

Tinggalkan komentar