RSS

Idul Fitri, Ajang Saling Maaf

Idul Fitri, Ajang Saling Maaf
OLEH SALWINSAH
SECARA etimologi, Idul Fitri berarti kembali berbuka. Ini sekaligus meluruskan pemahaman selama ini yang mengartikan Idul Fitri dengan kembali ke fitrah. ‘Id berasal dari kata ‘aada yang berarti kembali, sedangkan al-fitr berasal dari akar kata fathara yang berarti berbuka. Selama ini al-fithr sering disamakan dengan al-fithrah yang memakai ta marbuthah yang berarti suci. Keduanya memang memiliki akar kata yang sama tetapi memiliki masdar yang berbeda. Dalam teks hadits Nabi Muhammad SAW, penyebutan Idul Fitri tidak menggunakan ta marbuthah. Jadi, secara bahasa Idul Fitri lebih tepat bila diartikan dengan kembali berbuka.
Namun dalam sejarahnya, Islam tidak terlahir dengan paradigma materialistik. Ditetapkannya hari raya Idul Fitri tentu bukan sekedar untuk memenuhi hajat dan tuntutan perut. Terlalu sempit kalau memaknakan Idul Fitri semata-mata sebagai momentum untuk diperbolehkannya kembali makan dan minum. Tentu ada makna yang lebih dalam dari Idul Fitri dimaksud.
Dari kacamata filsafat, ulama ahli hikmah mengartikan Idul Fitri sebagai kembalinya manusia dalam keadaan suci sebagaimana mereka baru dilahirkan setelah jiwa dan raganya ditempa selama bulan Ramadan. Pengertian ini sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai selama menjalankan ibadah puasa, yaitu menciptakan manusia yang bertakwa. Ibadah puasa bagi umat muslim merupakan sarana untuk penyucian diri sebelum akhirnya mencapai tujuan takwa. Logika seperti inilah akhirnya pemaknaan Idul Fitri sebagai hari kembali kepada kesucian menjadi kuat dan populer di masyarakat Indonesia.
Orang yang melaksanakan ibadah puasa dengan benar maka dosanya akan dihapuskan. Dari Abi Hurairah ra, Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang menegakkan Ramadan dengan iman dan ihtisab, maka Allah mengampuni dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari dan Muslim). Dalam beberapa hadits juga dikatakan: “…bersih atau suci bagaikan bayi yang baru dilahirkan”. Dengan kasih sayang-Nya, Allah mengampuni semua dosa hamba-Nya pada-Nya. Yang tersisa tinggallah dosa sesama manusia. Untuk menghapus dosa ini tidak cukup dengan memohon ampun kepada Allah SWT. Allah memerintahkan untuk meminta maaf dan memberi maaf kepada sesama manusia. Karena dalam menjalani hidup, manusia tentu sering menuruti hawa nafsu dan menyakiti orang lain demi mencapai ambisi-ambisi duniawi.
Banyak ayat dan hadits yang memerintahkan manusia untuk saling memaafkan. Saling memaafkan inipun merupakan salah satu ciri orang-orang yang bertakwa sebagaimana juga yang dicita-citakan oleh puasa Ramadan. Allah SWT berfirman, “Dan memberi maaf itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. Al-Baqarah: 237). Ayat yang lain Allah SWT berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang lain. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Ali Imran: 133-134).
Idul Fitri menjadi momen yang tepat untuk saling memaafkan. Rasulullah SAW mengajarkan untuk saling memaafkan sesegera mungkin setelah kita berbuat kesalahan. Tetapi terkadang hati dan mental kita belum siap untuk melakukannya. Meminta maaf dan memaafkan bukanlah perkara mudah. Oleh sebab itu, setelah menjalani pelatihan mengendalikan nafsu selama sebulan penuh, umat muslim diharapkan memiliki mental yang kuat untuk saling memaafkan di hari raya Idul Fitri ini.
Halal bi Halal
Dalam kamus besar bahasa Indonesia, halal bi halal berarti acara maaf-maafan pada hari lebaran, sehingga mengandung unsur silaturahmi. Sedangkan dalam bahasa Arab, halal bi halal berasal dari kata halla atau halala yang mempunyai banyak arti sesuai dengan konteks kalimatnya antara lain penyelesaian problem (kesulitan), meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Penelusuran dari kedua bahasa ini maka halal bi halal artinya kegiatan saling bermaafan atas kesalahan dan kekhilafan dalam suasana lebaran melalui silaturahmi, sehingga dapat mengubah hubungan sesama manusia dari benci menjadi senang, sombong menjadi rendah hati, ternoda menjadi terbebas dari dosa.
Halal bi halal merupakan media yang efektif untuk merajut kembali hubungan yang membeku dengan cara saling memaafkan dan menyadari kekhilafan masing-masing.
Adalah tepat pada acara halal bi halal semua orang mengucapkan mohon maaf lahir batin, lantaran lahiriah semua orang bisa memaafkan namun secara batiniah kemungkinan masih tersisa dendam yang menusuk hati. Orang yang seperti ini biasanya secara lahir telah memaafkan ditandai dengan berjabat tangan, namun secara batin belum sepenuhnya.
Pun tradisi halal bi halal tidak jarang terjadi hanya formalitas belaka. Bersalam-salaman, tetapi hati masih mendongkol, mengucapkan kata-kata maaf, tetapi bermuka masam. Seandainya sudah terlaksana proses pemaafan, itu saja belum cukup, karena ada tingkat kedua yang lebih sulit, yaitu menghapus kesalahan manusia dari dalam file pikiran, sehingga tidak terdeteksi lagi. Dalam konteks ini, ada baiknya mengingat ucapan orang bijak, “Mendendam itu menggelisahkan, memaafkan membuat tentram”.
Akhirnya pesan universal dalam halal bi halal agar selalu berbuat baik, memaafkan kesalahan orang lain dan sarana untuk saling berlomba-lomba dalam kebaikan sehingga tetap menjadi warna terindah dalam hidup dan kehidupan. Terlepas dari makna sebenarnya kegiatan halal bi halal tergantung pada niat orang yang menggelarnya dan perspektif setiap masyarakat dari kacamata mana ia memandang. Yang penting ada upaya untuk berusaha memperbaiki diri ke arah yang lebih baik. Karena Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang hari ini sama seperti hari kemarin, maka ia merugi. Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia pandai. Barangsiapa yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka ia terlaknat” (HR. Baihaqi). (*Penulis Guru SMAN Titian Teras H. Abdurrahman Sayoeti Jambi)

 

Tinggalkan komentar