RSS

Covering Islam (Bias Liputan Barat atas Dunia Islam)

Book Report
Judul : Covering Islam, Bias Liputan Barat atas Dunia Islam
Judul Asli : Covering Islam : How the Media and the Experts Determine
How We See the Rest of the Word (New York 1981)
Pengarang : Edwar W. Said
Penerjemah : A. Asnawi, Supriyanto Abdullah
Penerbit : Ikon Teralitera Yogyakarta
Tahun Terbit : 2002
Jumlah Halaman : xxxvii + 257
ISBN : 979-3016-19-1

A. Riwayat Singkat Pengarang

Edward W. Said lahir di Jerusalem, Palestina, menempuh sekolah dasar dan menengah di sana dan Mesir. Gelar BA di raih di Universitas Princeton, MA serta Ph.D di Universitas Harvard. Ia memenangkan Bowdoin Prize. Tahun 1974 ia menjadi Visiting Professor of Comparative Literature di Harvard dan selama 1975-1976 menjadi anggota di Senter for Advanced Study in the Behavioral Sciences di Standford. Pada 1977 ia menyampaikan Gauss Lectures in Criticims di Princeton dan pada 1979 ia menjadi Visiting Professor of Humanities di Johns Hopkins. Setelah itu ia menjadi Part Professor of English and Comparative di Universitas Columbia.
Karya Said telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan diterbitkan di seluruh penjuru Eropa, Afrika, Asia dan Australia. Bukunya Beginnings: Intention an Method memenangkan Lionel Trilling Award tahun pertama yang diberikan di Universitas Columbia. Tahun 1978 bukunya Orientalism menjadi pemenang kedua dalam kategori kritik dan National Book Critics Circle Award. Ia juga menulis The Word, the Text, and the Critic dan After the Last Sky.

B. Ringkasan Buku

1. Islam Sebagai Berita
Con Ed (Consolidated Edison of New York) menayangkan sebuah iklan televisi yang aneh pada musim panas 1980. Klip film dalam iklan tersebut menayangkan tokoh-tokoh OPEC yang dapat segera dikenal seperti Yamani, Qaddafi dan tokoh-tokoh Arab lainnya, yang kemudian diganti dengan tokoh-tokoh lainnya yang masih berkaitan dengan minyak dan Islam, yaitu Khomeini, Arafat dan Hafez al-Assad. Tidak satu pun dari tokoh-tokoh ini yang disebutkan namanya, tetapi hanya dikatakan dengan serius bahwa “orang-orang ini” mengendalikan sumber minyak Amerika. Suara latar iklan tersebut tidak menyebutkan siapakah sesungguhnya “orang-orang ini” atau dari mana mereka berasal, namun dapat dirasakan bahwa para laki-laki biadab tersebut telah menyebabkan orang-orang Amerika berada dalam cengkraman sadisme.
Kemunculan “orang-orang ini” berulang kali dalam surat-surat kabar dan televisi telah cukup menjadikan orang-orang Amerika marah, gusar dan takut. Gelombang perasaan inilah yang segera dibangkitkan dan dieksploitasi oleh Con Ed untuk alasan-alasan di dalam negeri, sebagaimana setahun sebelumnya, Stuard Eizenstat, penasehat kebijakan dalam negeri Presiden Carter, mendesak presiden agar “dengan langkah-langkah keras kita (harus) memobilisasi bangsa di seputar krisis nyata dan dengan musuh nyata pula, yakni OPEC.”
Comersial Con Ed ini setidak-tidak menjadikan dua penafsiran Edward W. Said, pertama tentu saja Islam atau lebih tepatnya citra Islam di kaca mata Barat pada umumnya dan di Amerika Serikat (AS), khususnya. Kedua adalah penggunaan citra Islam di Barat, terutama di AS yang mana hal ini sangat berkaitan erat (dari berbagai sudut pandang) sehingga akhirnya banyak ungkapan bahwa Barat dan AS, terutama perlakuan mereka terhadap Islam dengan cara yang jauh dari konkrit dan jauh dari perbincangan berkarakteristik ilmiah.
Berpengalaman sejarah masa lalu paling tidak sejak abad ke-18 hingga hari ini (1981) reaksi-reaksi Oksidental modern terhadap Islam telah didominasi tipe pemikiran yang sangat sederhana dan masih dapat disebut sebagai Orientalis. Sejauh Islam masih dipandang sebagai bagian dari Timur maka nasibnya di dalam struktur umum Orientalisme, pertama-tama dilihat seakan-akan sebagai hal yang monolitis dan kemudian dengan permusuhan dan rasa takut yang luar biasa. Tentu saja terdapat alasan-alasan agama, psikologis dan politis dalam hal ini, tetapi semua alasan ini berasal dari pemahaman bahwa sepanjang berkaitan dengan Barat, Islam tidak saja menjadi pesaing yang hebat tetapi juga akan menjadi ancaman bagi kaum Kristiani.
Hampir sepanjang Abad Pertengahan dan selama zaman Renaisans di Eropa, Islam dipercaya sebagai agama yang kejam, ingkar, busuk dan buram. Tidak masalah memang orang muslim menganggap Muhammad sebagai nabi, bukan Tuhan, tetapi yang menjadi masalah bagi orang Kristen adalah bahwa Muhammad adalah seorang nabi palsu, seorang yang menanamkan benih-benih perpecahan, seorang mengumbar nafsu, seorang munafik dan kaki tangan syetan. Akan tetapi pandangan terhadap Muhammad ini bukanlah pandangan yang doctrinal. Peristiwa-peristiwa dalam dunia nyata menjadikan Islam sebagai kekuatan politik yang diperhitungkan. Selama ratusan tahun tentara dan angkatan laut Islam yang besar mengancam Eropa, menghancurkan pos-pos terdepan mereka dan akhirnya menduduki wilayahnya.
Ketika dunia Islam sampai pada fase kemunduran dan Eropa mengalami kemajuan, anehnya mereka tetap dihantui rasa ketakutan terhadap “Mohammedanisme.” Eropa sangat mengkhawatirkan kekuatan laten Islam kembali mengganggu konsentrasi Barat. Padahal peradaban-peradaban besar Timur lainnya seperti India dan Cina kala itu pun sudah lumpuh dan kalah. Namun Islam memang tidak memiliki kamus dengan istilah “menyerah kepada Barat”, dengan kenaikan harga minyak yang kiblatnya di Timur Tengah, melonjak dramatis awal 1970-an, hampir saja dunia Islam mengulangi kembali penaklukannya seperti masa lalu, sehingga seluruh Barat sempat tergoncang hebat.
Pada 1978 Iran sebagai pemasok minyak terpenting selama periode kelangkaan energy, menguasai panggung dunia dan membuat AS kerepotan, cemas dan gusar. Ketika itulah ternyata AS tidak bisa berbuat banyak tanpa uluran tangan Iran.
Tetapi aneh, kembali pemberitaan tentang Islam “miring” bahkan dalam bahasa karikatur mereka mendefinisikan orang-orang Muslim sebagai pemasok minyak yang membabi buta, teroris dan bahkan berita terbaru mengudara, Barat mengklaim bahwa Islam sebagai kaum yang haus darah. Sedikit sekali sumber berita yang menayangkan perbaikan citra diri Timur, itupun hanya berkisar masalah budaya dan wacana dalam lingkup budaya non-Barat, bukan Islam.
Keberangan Edward W. Said akhirnya menuturkan bahwa bicara tentang “Islam” di Barat hari ini berarti membicarakan banyak hal yang tidak menyenangkan. Di samping itu “Islam” tidak mungkin memiliki arti sesuatu yang diketahui seseorang, baik secara langsung atau secara obyektif. Karena itu membahas suatu label harus dengan sungguh-sungguh dan penuh kehati-hatian. Hanya mengetahui kulit luar, lalu berlagak mengetahui sampai ke akar-akarnya dan lebih diperparah lagi jika kemudian diekspose kemana-mana. Tanpa pandang bulu baik bagi seorang Muslim yang berbicara tentang “Barat” atau bagi orang AS yang berbicara tentang “Islam”, di balik generalisasi yang difatwakan terdapat fakta sejarah yang bisa mementahkan fakta-fakta yang fiktif.
Belum dapat ditemukan periode manapun dalam sejarah Eropa atau Amerika sejak abad pertengahan di mana Islam dibicarakan dan dipikirkan secara umum di luar kerangka yang diciptakan oleh nafsu, prasangka dan kepentingan politis. Mungkin hal ini tidak terlihat sebagai penemuan yang luar biasa, tetapi di dalamnya terdapat seluruh disiplin ilmiah yang sejak awal abad ke-19, menyebut dirinya secara kolektif sebagai disiplin Orientalisme atau secara sistematis mencoba berhubungan dengan Timur. Tidak seorang pun yang tidak menyetujui pernyataan bahwa komentator-komentator terdahulu tentang Islam seperti Peter the Venerable dan Barthelemy d’Herbelot adalah ahli polemic Kristen yang sangat bersemangat dalam pernyataannya.
Akan tetapi terdapat asumsi yang tidak teruji bahwa semenjak Eropa dan Barat mengalami kemajuan dalam zaman ilmiah modern dan membebaskan diri dari takhayul dan kebodohan, maka perjalanan panjang ini tentunya termasuk orientalisme. Tidak benar bahwa Silvestre de Sacy, Edward Lane, Ernest Renan, Hamilton Gibb dan Louis Massignon adalah sarjana yang terpelajar dan obyektif dan tidaklah benar bahwa dengan mengikuti semua bentuk kemajuan dalam sosiologi, antropologi, linguistic dan sejarah abad ke-20, sarjana-sarjana Amerika yang mengajarkan Timur Tengah dan Islam di tempat-tempat seperti Princeton, Harvard dan Chicago tidak melakukan bias dan bebas dari justifikasi khusus dalam apa yang mereka lakukan? Jawabannya tidak.
Namun semangat untuk maju dan usaha-usaha modernisasi terus dilakukan selama dua decade setelah Perang Dunia II. Akibatnya Iran menjadi kisah sukses modernisasi dan penguasanya menjadi pemimpin yang modern. Mengenai bagian dunia Islam lainnya, entah itu para nasionalis Arab, Gamal Abdul Nasser dari Mesir, Soekarno dari Indonesia, para nasionalis Palestina, kelompok-kelompok oposisi Iran atau ribuan guru Islam, ikhwan dan tharikah-tharikah yang tidak dikenal semuanya menentang atau tidak diliput oleh sarjana Barat yang memiliki investasi sangat besar dalam teori modernisasi, strategi Amerika dan kepentingan ekonomi di dunia Islam.
Menyinggung pemberitaan wartawan luar negeri Amerika dapat dipahami berupaya keras untuk memperoleh informasi sebisa mungkin. Inilah yang selalu terjadi ketika seseorang dicangkokkan ke suatu budaya asing dan terutama ketika wartawan merasa dia berada di luar negeri untuk menerjemahkan apa yang terjadi di sana ke dalam bahasa yang dapat dimengerti rekan-rekan di negerinya (termasuk pengambil kebijakan). Naluri wartawan ketika berada di luar negeri dengan bergantung bukan saja pada apa yang dia ketehui dan pelajari melainkan juga pada apa yang semestinya dia ketahui, pelajari dan katakana sebagai wakil Amerika. Peliputan media Amerika atas negara-negara asing bukan saja menciptakan dirinya sendiri melainkan juga meningkatkan kepentingan yang telah “kita” punya di sana.

2. Berita Iran
Iran telah membangkitkan kemarahan orang-orang Amerika, bukan hanya karena pendudukan kantor kedutaan AS di Teheran oleh mahasiswa Iran, 4 November 1979, tetapi juga akibat liputan media yang sangat terperinci dan terfokus terhadap kejadian tersebut. Perlu diingat bahwa diplomat-diplomat Amerika disandera dan Amerika sendiri tidak mampu membebaskannya, sedangkan peristiwa itu disajikan dan disiarkan dalam siaran utama televisi malam demi malam.
Sembilan puluh persen pengetahuan orang-orang Amerika terhadap Iran terbentuk oleh radio, televisi dan surat kabar. Melalu penyiaran yang keliru itulah membuat penafsiran yang berlebihan pula terhadap Iran dan Islam. Tidak ada cara untuk meredakan keberangan yang disebabkan oleh penyanderaan orang-orang Amerika ini, begitu juga meredakan kemelut yang disebabkan oleh konflik-konflik di dunia Islam selain melalalui kajian khusus bagaimana sesungguhnya Iran dan Islam itu secara obyektifitas.

3. Pengetahuan dan Kekuasaan

Mengingat pertentangan Islam dan Barat dan pertikaian antar golongan masing-masing tampaknya sia-sia untuk bertanya apakah bagi para anggota sebuah budaya, pengetahuan tentang kebudayaan lain benar-benar dimungkinkan. Carilah pengetahuan sampai ke negeri Cina, begitu bunyi pepatah Islam yang terkenal dan setidaknya sejak zaman Yunani telah ada penegasan umum di Barat bahwa sepanjang pengetahuan itu menyangkut kemanusiaan dan alam, ia harus dicari. Tetapi oleh pemikir Barat hasil pencarian ini dipercaya sudah cacat. Bacon dianggap telah merayakan pemikiran Barat dalam bentuk paling bergairah dan penuh semangat , sesungguhnya mengekspresikan semua keraguan apakah penghalang-penghalang pengetahuan (berhala-berhala) benar-benar dapat disingkirkan. Namun murid Bacon bernama Vico berkata dengan tegas bahwa pengetahuan manusia hanya terbatas pada apa yang telah dibuat oleh umat manusia, maka realitas eksternal tidak lebih dari ‘modifikasi pikiran manusia’.

Ketika melawan arus skeptic dan pesimistis para mahasiswa Islam di Barat umumnya cenderung bersikap sangat optmisitik dan yakin. Para orientalis modern awal di Eropa tampaknya sedikit meragukan bahwa studi tentang orien (Timur) di mana dunia Islam merupakan satu bagian darinya adalah jalan utama menuju pengetahuan universal.
Dalam suatu kajian memperoleh bahwa pemimpin dan para pengikut orientalisme dapat diklasifikasikan ke dalam dua kelompok. Pertama kelompok yang terdiri dari penguasa, kerabat istana, atau aparatur negara yang menyibukkan diri dengan persoalan-persoalan masyarakat muslim. Mereka dengan sewenang-wenang meninggalkan Islam secara total dan berupaya menghancurkan masyarakat muslim di negerinya sendiri bagaikan berperang melawan musuh. Bahkan, melakukan pengingkaran terhadap sunnah Nabawi, Rukun-rukun Islam, Haji, dan sebagainya. Kelompok kedua merupakan para pengikut orientalis yang memfokuskan diri kepada studi-studi ketimuran. Para pendukung dan pengikut orientalisme adalah mereka yang selalu megekor dan menciduk pengetahuan metodologis dari mereka (orientalisme) untuk menganalisis diri dan menafsirkan materi-materi problematik yang menjadi media dan sarana terpenting yang menimpa agama dan masyarakat muslim.
Pengikut-pengikut orientalis telah menjadikan Barat sebagai kiblat, jalan dan panutan hidup. Mereka telah mengadopsi teori materialistik –penyebab Barat bergeliat untuk melepaskan diri dari pribadinya, keterbelakangannya, dan nilai-nilai yang menjerumuskan– yang menyebabkan jiwa manusia tanpa ruh, materi tanpa penciptaan, dan menyeret manusia ke ambang kehancuran. Dengan ini pula, mereka, serta orang-orang yang tergila-gila dengan Barat meyakini adanya reformasi sistem Barat dan merelakan penerapannya di negara Islam. Para pengikut orientalisme selalu berangan-angan dan bercita-cita untuk mempengaruhi Islam melalui singkronisasi gagasan, ide, dan politik dengan gagasan politik Barat.
Orientalisme telah menjelma menjadi sebuah konsep ilmiah yang banyak dijumpai dalam karya-karya Barat, baik di bidang perdagangan, industri, politik, buku-buku sejarah, dan karya-karya sastra lainnya. Karya-karya itu telah banyak membantu perkembangan dan kemajuan orientalisme hingga ia menjadi suatu disiplin keilmuan tersendiri yang memiliki dasar, tujuan dan generasi yang tidak pernah merasa puas untuk memerangi Islam dan masyarakatnya. Kontribusi orientalis yang beraneka ragam tersebut akhirnya mengilhami para pengkaji dan pemerhati kajian-kajian orientalisme untuk mengklasifikasi orientalis ke dalam beberapa kategori dan tingkatan tertentu sesuai dengan kecenderungan dan keahlian yang dimilikinya.
Jika saja kita menghapus segala pengecaman atas keingintahuan murni maka dapat diambil suatau kesimpulan bahwa seluruh argumentasi mengenai kajian-kajian Timur Tengah benar-benar merupakan pembelaan atas kapasitas tanpa cacat mereka –secara historis maupun cultural—untuk menceritkan kebenaran tentang masyarakat asing yang lain. Kelihatannya dalam esai yang sama argumen politik diasosiasikan dengan kepartisan sempit, seolah-olah sarjana sejati sudah melampaui pertentangan-pertentangan kecil yang hanya asyik dengan gagasan-gagasan, nilai-nilai abadi dan prinsip-prinsip tingkat tinggi, sayangnya tidak ada contoh yang diberikan. Yang menarik dari esai ini adalah bagaimana ia membutuhkan ilmu pengetahuan dan prosedur ilmiah hanya sebagai nama saja. Ketika ia membahas kajian Timur Tengah non politik yang sesungguhnya, si penulis tidak mengatakan apa-apa. Dengan kata lain sikap, postur, retorika, –atau pendeknya ideologi– keilmuanlah yang penting. Isinya tidak sekedar diperinci, dan lebih buruk lagi ada upaya sungguh-sungguh untuk menyembunyikan hubungan antara keilmuan dan apa yang mungkin kita sebut keduniawian, demi menjaga fiksi dari kebenaran ilmiah non partisan dan non politis.
Para sarjana serupa di AS dikenal hanya sebagai ahli di bidang Islam atau Timur Tengah, mereka masuk dalam golongan para ahli dan ranah mereka, sejauh mereka berkaitan dengan masyarakat modern di dunia Islam, dapat dipandang sebagai ahli manajemen krisis. Status mereka terutama berasal dari pengetahuan bahwa bagi AS, dunia Islam adalah wilayah yang strategis, dengan semua jenis masalah. Setelah berpuluh-puluh tahun mengurus koloni-koloni Islam, baik Inggris dan Perancis akhirnya menghasilkan sesuatu yang sepadan dengan jaringan kerja aliansi pemerintah-perusahaan-kajian Timjur Tengah yang ada di AS. Para guru besar di lembaga Islam atau Arab atau Persia bekerja di universitas Inggris dan Perancis mereka dimintai nasehat dan bahkan partisipasi oleh departemen kolonial dan oleh perusahaan bisnis swasta, mereka terkadang menggelar kongres, tetapi mereka tampaknya belum menciptakan sebuat struktur independen sendiri, yang dipertahankan tetapi tetap dipelihara oleh sector bisnis swasta atau langsung oleh yayasan dan pemerintah.
Selama beberapa tahun lalu ada bukti penting bahwa dunia non Barat umunya dan Islam khususnya tidak lagi sesuai dengan pola-pola yang dipetakan oleh para ilmuan social Amerika dan Eropa, Orientalis dan ahli wilayah setelah masa perang. Tentunya benar bahwa dunia Islam tidak sepenuhnya anti Amerika dan anti Soviet atau sepenuhnya bersatu dengan tindakan yang dapat diramalkan. Orang dapat menganggap sebagai kenyataan yang netral, meskipun tanpa memandangnya sebagai hal yang baik. Bagaimanapun bahaya dalam membicarakan kekalahan Iran dan kemerosotan Barat dalam napas yang sama adalah bahwa kita segera menutup kemungkinan tindakan itu kecuali pengaruh dan penguasaan kembali Barat di kawasan seperti Iran dan teluk. Keberhasilan dari ‘para ahli’ yang karya mereka mengawali akhir kekuasaann Inggris dan Amerika atau Perancis di dunia Islam, adalah kesaksian yang menakutkan bagi semua orang yang mengendap-endap dalam benak para pengambil keputusan dan kebutuhan agresi dan penaklukan, apa yang sebenarnya dilayani oelh ‘para ahli’ ini secara sadar atau tidak. Bahwa ada penduduk asli yang ikut berperan dalam sejarah busuk kolaborasi bukanlah sebuah tanda dari kedewasaan baru di Dunia Ketiga . (By Salwinsah)

 

Tinggalkan komentar