RSS

Guru Jangan Pusing Ulah Calon Pengatur negeri

GURU, JANGAN PUSING ULAH

CALON-CALON PENGATUR NEGERI INI

 Guru Jangan Pusing Ulah Calon Pengatur Negeri

       Oleh : SALWINSAH, S.Ag            

    (Guru SMA Titian Teras Jambi)                               

            ADALAH tidak salah kalau kehormatan dan kebesaran nama seorang tokoh ditakar dari seberapa kuat dan tangguhnya yang bersangkutan dalam menggenggam janji. Begitu pentingnya, sehingga janji dalam agama sejajar dengan hutang. Artinya barang siapa yang tidak memenuhi janjinya maka ia sebenarnya berhutang kepada orang yang dijanjikan. Efek lain dari tidak dipenuhinya janji adalah yang bersangkutan akan mendapat hukuman dalam bentuk pandangan remeh dan tidak akan dipercaya lagi oleh masyarakat sekitarnya. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan terjadi, tadinya sebagai orang terpandang berbalik menjadi terhina hanya lantaran royal mengumbar janji.

            Geliat Pemilihan Calon Legislatif (DPD, DPR RI dan DPRD) di berbagai daerah kian memanas. Berbagai jurus jitu untuk membujuk hati rakyat mencari simpatik terus mencuat oleh masing-masing kandidat. Visi dan misi dipaparkan di sana-sini. Slogan-slogan cerdik dan menarik terpampang di setiap sudut pandang. Belum lagi menawarkan hutang dalam bentuk janji-janji.

            Begitu reformasi digulirkan saat itu pula kebulatan tekad tertancap untuk melaksanakan pemilu secara jujur dan adil. Menjaga kehormatan masing-masing kontestan, tidak saling mencerca saat kampanye, siap menerima kekalahan tanpa bertindak anarkis, mendukung siapapun yang menang walau pahit, dan pemenang tidak bertindak zalim kepada lawan politik yang bakal menjadi musuh dalam selimut pada pergulatan politik selanjutnya.

            Komitkah dengan kesepakatan ini? Hanya “pengadilan waktu” yang mampu memutuskan perkara ini. Namun jika pembuktiannya melenceng dari kenyataan maka pembelaan secanggih apapun hanya akan setara dengan jeritan panjang dan histeris di samudra tak bertepi.

            Bias Politik

            Sebelum finis penghitungan suara, semua kandidat adalah kampiunnya. Jelas mereka tidak mau kalah sebelum sampai titik darah penghabisan. Mereka itu orang-orang pintar sehingga mampu menjadi figur dengan segala kelebihan dan kekurangan masing-masing.

            Tugas berat kita adalah mencerdaskan idola-idola mereka dalam hal ini semua lapisan masyarakat yang sudah mengantongi hak pilih. Benar, semua masyarakat tidak “bodoh”. Dan syah saja, bahkan menjadi Hak Asasi Manusia  untuk menyenangi seorang figur, atau salah satu partai politik (parpol) peserta pemilu, sepanjang ia benar-benar memperjuangkan kebenaran, kejujuran, keadilan, keterbukaan dan demokratis –tanpa perlu mengklaim bahwa figur atau parpolnya yang paling benar, adil, terbuka dan demokratis– terlalu berlebihan.

            Moral agama mengajarkan manusia supaya belajar berpikir bijak dan adil, sebab “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyenangi  sesuatu, padahal ia amat jahat bagimu” (QS Al-Baqarah :216).

            Malah Nabi Muhammad SAW sendiri dalam sebuah hadits menuturkan “Cintailah kekasihmu sewajarnya, siapa tau suatu ketika ia bisa menjadi musuhmu. Dan bencilah musuh sewajarnya juga, mana tau suatu saat dia bisa menjadi kekasihmu.”

            Penegasan Al-Qur’an dan pesan puitis Rasulullah SAW ini sudah terbukti kebenarannya dalam sejarah kancah perpolitikan Indonesia. Perhatikan bagaimana pergulatan politik di tanah air belakangan ini. Teman yang dulu dielu-elukan bak “dewa” turun dari langit, kini menjadi musuh yang menjijikkan. Musuh yang dulu diganyang dan disakiti, kini dirangkul dan diangkat sebagai teman. Penyeselan dan permohonan maaf mengalir dari berbagai kalangan mantan seteru yang kini telah berganti menjadi sahabat kental. Julukan saudara bagi bekas musuh pun terdengar nyaring di mana-mana.

            Demikianlah hati manusia yang selalu terperangkap oleh “kepentingan politik sesaat” sehingga gampang berubah-ubah. Itu adalah contoh manusia yang terbuai, asyik mengikuti egonya lupa bimbingan etika dan moral agama. Maka tatkala datang masanya sadar, justru kesadaran yang “semu” dan “palsu” pula ditonjolkannya. “Kamu duga mereka itu berteman (bersatu), padahal hati mereka saling bertentangan”, begitu Al-Qur’an menyindir orang yang tidak sejati dalam membangun politik dan komunikasi sosialnya. (QS Al-Hasyr : 14).

            “Teman sejati adalah teman dalam duka”, begitu kata orang bijak. Mencari sahabat di saat suka memang jauh lebih mudah ketimbang mencari sahabat di saat duka. Berpura-pura menjadi teman setia di saat suka (apalagi ada yang dibutuhkan) adalah sama kualitasnya dengan laba-laba yang gemar membangun rumahnya, namun hanya sesaat menikmatinya. Karena kerapuhannya, menjadi gampang dikibas, dan gampang pula membangun yang baru. Sungguh, awal kejatuhan manusia adalah tatkala ia memperturutkan nafsu dengan egonya secara berganti-ganti tanpa pijakan yang kokoh, tanpa pula merasa bersalah apalagi berdosa, membuat karakter dirinya rapuh, serapuh sarang laba-laba.

            Apalagi nafsu dan egois dipacu untuk bersaing memperebutkan tampuk kepemimpinan atau kedudukan tertentu sebagai amanat umat yang belum menjadi haknya secara wajar melalui jalan pintas umpamanya, biaya moral harus di bayar mahal untuk menuju ke sana. Inilah pantulan (bias) politik sekaligus menjadi salah satu bentuk kekeliruan yang paling berbahaya. Mereka telah meletakkan “klaim politiknya” secara egois, pongah dan kurang realistis, jauh dari kemampuan obyektifitas. Lalu iapun kurang sabar dalam memperjuangkan misi dan visi politiknya sebagaimana sering didemontrasikan para tokoh politik yang ingin melihat hasilnya secara mendadak, terburu-buru tanpa terlalu memikirkan kematangan.

            Hal ini salah satu yang menjadi sasaran kritik agama terhadap manusia, “Tidak! Kamu itu kesukaannya adalah ingin melihat keberhasilan secara mendadak dan sedikit sekali yang ingin menyaksikan keberhasilan yang diraih melalui proses yang panjang.” (QS Al-Qiyamah: 20-21).

            Politik ideal, kandidat yang berhasil cabut sebagai pemenang pada pemilu setiap musim adalah mereka yang telah kenyang makan “asam-garam” pada bidangnya sehingga mampu mencapai karier politik yang diperjuangkan secara matang. Sementara yang kalah, prosesnya belum panjang, kurang memadai.

            Butuh waktu lama memang menatar rakyat untuk menyadarkan berpolitik sehebat itu. Sebagian rakyat kita memang telah cerdik (mengikuti arah angin) bukan berarti cerdas (faham) dalam menggunakan hak pilihnya.

Akibatnya lahirlah pemimpin atau wakil-wakil rakyat kita yang kadang-kadang cerdas, kadang-kadang cerdik dan kadang-kadang agak bodoh. Dan akan membawa negeri ini ke kadang-kadang menuju kecerdasan, kecerdikan dan agak kebodoh-bodohan. Lalu kapan dunia politik kita  maju? Ya,  saat “kapan  menutupi sekujur tubuh…!

Persyetan semua itu! Kita para guru yang masih berhati suci, bertangan dingin, jangan sampai pusing ulah calon-calon pengatur negeri ini. Yuk bergandengan tangan mempersiapkan siswa-siswi kita untuk menghadapi Ujian Nasional yang sudah di ujung pintu, agar mereka sukses menuju cita-cita. Itu lebih suci dan mulya demi mengindahkan dunia perpolitikan masa depan, pendidikan yang berpolitik dan politikus yang berpendidikan. Oke…..!

SEMOGA !  

 

Tinggalkan komentar