RSS

Memaknai Lailatul Qadr

Memaknai Lailatul Qadr

Alkisah, Buya Hamka pernah menerima penuturan dari seorang ulama pembaharu Islam Indonesia terkenal asal Minangkabau bernama Syeikh Muhammad Djamil Djambek pada tahun 1940.

Menurut penuturan ulama tersbut kepadanya, sebelum menjadi seorang alim bahkan menjadi syeikh besar, ia dulunya dikenal sebagai preman. Berbagai kemaksiatan telah dilakukannya. Suatu malam di bulam ramadan, Syeikh Djambek ini iseng ingin mencari kesenangan dengan mengganggu perempuan. Tanpa diduganya, ia melihat segerombolan orang sedang mengejar pencuri. Karena takut dituduh maling, Syeikh Djambek segera berlari dan bersembunyi di dalam kolam dekat sebuah masjid. Hanya mukanya yang nyembul di permukaan air sekadar buat bernafas. Ia tetap bersembunyi sampai gerombolan yang mengejar maling tersebut menjauhinya. Bahkan ia tidak meringis menahan sakit ketika salah seorang anggota rombongan tanpa sengaja memukulkan kayu ke dalam kolam dan tepat mengenai kepala Syeikh Djambek.
Ketika adzan subuh berkumandang, sebelum orang berangkat ke masjid, Syeikh Djambek bergegas ke luar kolam sambil menahan sakit akibat pukulan kayu tadi. Namun ada yang berubah dalam dirinya. Adzan subuh yang didengarnya ketika berada dalam kolam tadi ternyata membuat hatinya tersentuh dan sadar akan perbuatan maksiat masa lalunya, yang akhirnya mengetuk hatinya untuk bertobat. Sejak peristiwa ini ia bertekad mengubah jalan hidupnya. Pada siang harinya ia menemui ayahnya dan memohon supaya dikirim belajar agama Islam di Masjidil Haram. Ayahnya merasa heran bercampur haru terhadap perubahan sikap anaknya tersebut. Akhirnya ayahnya memutuskan untuk mengirim Syeikh Djambek ke Mekkah, bahkan ayahnya sendiri yang mengantarkannya.

Sepulang dari tanah suci, Syeikh Djambek pun tampil menjadi salah seorang ulama pembaharu Islam di Minangkabau dan Indonesia umumnya. Inilah makna laylatul qadr dalam pandangan buya Hamka. Syeikh Muhammad Djamil Djambek telah mendapat keajaiban laylatul qadr. Ajaib karena telah mampu mengubah 180 derajat jiwa dan kehidupan Djamil Djambek dari preman menjadi baik dan alim.
Apa makna Laylatul Qadr?

Di dalam surah al-qadr disebutkan bahwa malam laylatul qadr adalah malam yang lebih baik dari seribu bulan (QS.Al-Qadr : 3). Mayoritas ulama memberi pengertian ”lebih baik dari seribu bulan” adalah bahwa nilai pahala ibadah pada laylatul qadr melebihi pahala ibadah selama seribu bulan. Jadi, kelebihan itu adalah nilai pahala ibadahnya, bukan kewajiban ibadahnya. Sehingga amat keliru mereka yang hanya ingin beribadah dan melaksanakan kewajiban agama pada laylatul qadr atau bulan ramadhan, dan tidak lagi melaksanakan kewajiban pada hari-hari yang lain, dengan dalih bahwa pelaksanaannya ketika itu sudah seimbang dengan pelaksanaan tuntunan agama seribu bulan lainnya.
Menurut M.Quraish Shihab dalam bukunya wawasan Alquran, laylatul qadr mempunyai tiga makna. Pertama, penetapan atau pengaturan. Laylatu qadr difahami sebagai malam penetapan Allah bagi perjalanan hidup manusia, Kedua, Kemuliaan. Dimaknai bahwa malam laylatul qadr adalah malam yang paling mulia karena dipilih Allah sebagai malam turunnya Alquran serta menjadi tititk tolak dari segala kemuliaan yang dapat diraih. Ketiga, bermakna sempit, dimakanai bahwa sebagai malam yang sempit karena banyaknya malaikat yang turun ke bumi, bisa juga bermaka bahwa malam itu sangat singkat waktunya dan berlangsung sebentar sekali.

Bila dikaitkan dengan kisah Syeikh Djamil Djambek di atas, pada laylatul qadr itu, malaikat hadir membisikan kebaikan kepadanya, sehingga ia merasa tenang dan damai dalam sentuhan spiritual yang dalam. Malam itulah yang merupakan titik awal bagi Syeikh Djambek berubah jiwanya dari hati yang gelap menjadi terang dengan cahaya dari Ilahi.
Laylatul Qadr Dalam Konteks kini

Berbagai pendapat dari ulama tentang waktu turunnya laylatul qadr, mulai dari tanggal 17 Ramadan sampai pada malam-malam ganjil sepuluh terakhir bulan Ramadan, tentu saja diyakini bahwa pada malam-malam terakhir Ramadan adalah malam puncak perjalanan ruhani di mana setiap shaimin diharapkan telah mencapai kualitas rohani yang tinggi, sehingga rahasia dan keheningan laylatul qadr akan mudah ditangkap secara gamblang oleh shaimin pada tingkatan terakhir ini. Namun dalam pemahaman kontekstual, laylatul qadr juga mesti dipahami sebagai moment untuk menyucikan jiwa dan hati dari lumuran dosa-dosa selama menjalani kehidupan ini. Dalam perjalanan kehidupan kita,tanpa disadari banyak ungkapan dan perbuatan kita yang merugikan dan mengorbankan orang lain. Untuk itu, di bulan Ramadan ini menjadi arena yang tepat untuk melakukan muhasabah dan istigfar sembari melakukan upaya untuk meningkatkan kualitas kemanusiaan menuju insan kamil.

Sehingga kehadiran kita memberi manfaat yang besar bagi sesama, dan bukan parasit apalagi sampai menjadi beban sosial bagi yang lainnya.
Akhir kalam, kita tentu saja sangat berharap bertemu dengan Laylatul qadr, setidaknya seperti pengalaman Syeikh Djamil Djambek tersebut, tetapi yang tidak kalah penting di lakukan adalah bagaimana memanfaatkan moment Laylatul qadr sebagai spirit untuk meningkatkan kualitas ibadah dan menjalaninya secara konsisten menuju kehidupan yang mencerahkan secara spiritual dan menanamkan nilai-nilai kemanusiaan yang dalam, yang memahami hakikat penciptaannya serta senantiasa menampilkan dirinya sebagai uswah hasanah kapanpun dan di manapun adanya.Wallahu ’alam.
(Bahrul ‘Ulum Dosen Fakultas Syariah IAIN STS Jambi) (http://aikhlash.multiply.com)

 

Tinggalkan komentar