RSS

Confucianism

CONFUCIANISM
A. Perkembangan Awal Filsafat Cina
Berdasarkan penemuan arkeologis, Cina Kuno itu sudah ada sebelum periode Neolitik (5000 SM) baik di sebelah timur laut dan barat laut. Pada periode tersebut, kehidupan komunitas suku berpusat pada penyembahan dewa-dewa leluhur dan dewa-dewa alam. Yang dikenal pada periode ini adalah budaya Yangshao, Dawenko, Liangche, Hungsan, benda-benda yang dikeramatkan dan tempat penyembahan. Pada masa budaya Lungshan (2600 SM-2100 SM), yakni pada saat Raja Yao dan Shun memerintah, kebudayaan Cina yang berpusat pada pengorbanan yang ditujukan bagi roh-roh alam dan nenek moyang tersebar ke daerah Henan, Shandong dan Hubei. Mereka terintegrasi dalam sebuah keadaan politis yang tersatukan, Xia.
Ada juga tentang praktek li (ritual) dalam bentuk penghormatan kepada nenek moyang sejak awal sebagaimana diterangkan dalam Period of Jade[1]. Tradisi pemikiran filsafat di Cina bermula sekitar abad ke-6 SM pada masa pemerintahan Dinasti Chou di Utara. Kon Fu Tze, Lao Tze, Meng Tze dan Chuang Tze dianggap sebagai peletak dasar dan pengasas filsafat Cina. Pemikiran mereka sangat berpengaruh dan membentuk ciri-ciri khusus yang membedakannya dari filsafat India dan Yunani. Pada masa hidup mereka, negeri Cina dilanda kekacauan yang nyaris tidak pernah berhenti. Pemerintahan Dinasti Chou mengalami perpecahan dan perang berkecamuk di antara raja-raja kecil yang menguasai wilayah yang berbeda-beda. Sebagai akibatnya rakyat sengsara, dihantui kelaparan dan ratusan ribu meninggal dunia disebabkan peperangan dan pemberontakan yang bertubi-tubi melanda negeri. (http. labibsyauqi.Blogspot com. 06/2009)
Tiadanya pemerintahan pusat yang kuat dan degradasi moral di kalangan pejabat pemerintahan mendorong sejumlah kaum terpelajar bangkit dan mulai memikirkan bagaimana mendorong masyarakat berusaha menata kembali kehidupan sosial dan moral mereka dengan baik. Kaum bangsawan terpelajar ini telah tersingkir dari kehidupan politik dan pemerintahan, karena pada saat negeri dilanda kekacauan dan perang yang diperlukan ialah para jenderal dan pengambil kebijakan politik. Dinasti Chou sendiri telah lebih satu abad memerintah negeri Cina.
Pemerintahan mereka semula berjalan baik, tindakan hukum berjalan sebagaimana diharapkan dan ketertiban telah terbangun dengan baik. Dinasti Chou berhasil membangun tradisi pemikiran Cina yang selama berabad-abad mempengaruhi pemikiran orang Cina. Misalnya kebiasaan menghormati leluhur dengan melaksanakan berbagai upacara keagamaan dan kegemaran akan sejarah masa lalu.
Dalam upaya untuk mendapat legitimasi atas kekuasaannya Dinasti Chou menafsirkan kembali sejarah Cina. Misalnya saja penaklukan yang dilakukannya atas dinasti sebelumnya, Shang, dikatakan sebagai amanat dari dewa-dewa yang bersemayam di Kayangan. Penguasa dinasti Shang dikatakan telah banyak melakukan kejahatan di bumi sehingga tidak direstui oleh leluhur mereka, dan dewa-dewa di Kayangan membencinya serta memberikan mandat kepada penguasa Dinasti Chou untuk menggantikannya sebagai pemegang tampuk pemerintahan. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata penyelenggaraan upacara-upacara menghormati leluhur itu lebih merupakan pemborosan.
Sering sebuah upacara dilakukan secara berlebihan untuk memamerkan kekayaan dari keluarga yang menyelenggarakannya. Pemerintah pusat dan penguasa wilayah berlomba-lomba memungut pajak yang tinggi, memeras rakyat dan menggiring mereka melakukan kerja paksa. Para bangsawan, jenderal dan pejabat berlomba-lomba melakukan korupsi dan penyelewengan, menimbun harta dan kekuasaan. Mereka saling menghasut sehingga perpecahan tidak bisa dihindari lagi dan peperangan silih berganti muncul antara penguasa wilayah yang satu dengan penguasa yang lain. Dilatarbelakangi keadaan seperti itu filsafat Cina lebih banyak memusatkan perhatian pada persoalan politik, kenegaraan dan etika.
Kecenderungan inilah yang membuat filsafat Cina memiliki ciri yang berbeda dari filsafat India, Yunani dan Islam. Berbeda dengan filsafat Yunani, filsafat Cina Kuno memandang soal perubahan dan transformasi sebagai sebuah sifat dunia yang tidak bisa direduksikan lagi, termasuk di dalamnya benda-benda dan manusia itu sendiri. Ada perbedaan yang mencolok antara Filsafat Cina dengan filsafat Barat. Filsafat Cina menekankan pada perubahan, becoming, waktu dan temporalitas, dan tidak hanya membedakan metafisika Cina tentang realitas dan alam dari trend utama tradisi filsafat Barat tetapi juga dari orientasi filsafat India. Bagi para filsuf Cina, pengalaman akan perubahan dalam dunia justru membuat mereka masuk dalam alam dunia yang sejati dan dalam diri manusia sendiri. Di dalamnya, ada kemungkinan bagi terjadinya perkembangan, transformasi, interaksi dan integrasi. ((http. labibsyauqi.blogspot.com. 06/2009)
B. Latar Belakang Ajaran Konfusianisme
Konfusius (bentuk Latin dari nama Kong-Fu-Tse, “guru dari suku Kung”) hidup antara 551 dan 497 S.M. Ia mengajar bahwa Tao (”jalan” sebagai prinsip utama dari kenyataan) adalah “jalan manusia”. Artinya: manusia sendirilah yang dapat menjadikan Tao luhur dan mulia, kalau ia hidup dengan baik. Keutamaan merupakan jalan yang dibutuhkan. Kebaikan hidup dapat dicapai melalui perikemanusiaan (”yen”), yang merupakan model untuk semua orang. Secara hakiki semua orang sama walaupun tindakan mereka berbeda. ((http. labibsyauqi.blogspot.com. 06/2009)
Confucianism adalah sebuah aliran pemikiran politik, intelektual dan agama yang dikembangkan pada abad ke-5 BC.(AD Latin: Anno Domini, Masehi, BC Before Christ atau SM),. oleh seorang Filsuf China yang bernama Confucius. Di China, ajaran ini bernama Ru Jia atau Ju Chia, yang bermakna Sekolah Para Ilmuan. Confucianisme membantu mereformasi pemerintahan, sehingga memberikan manfaat untuk orang, dan membangun akhlak terutama dalam masalah intern pemerintahan. Ajaran ini mengajarkan untuk menghormati yang lebih tua dan melegitimasi kekuasaan orang-orang yang menjadi figur penting untuk kepercayaan tradisional, praktik ritual, pendidikan, dan ikatan keluarga yang dekat. Confucianism dimulai di China, yang kemudian menyebar ke Korea, Jepang dan Vietnam. (http.khosrouparviz blogspot. com/2010/09)
Dalam Konfusianisme, seperti dalam banyak falsafah Cina yang lain, pemikiran diarahkan sebagai pemecahan masalah-masalah praktis . Karena itu falsafah Cina cenderung menolak kemutalakan atau pandangan hitam putih secara berlebihan. Kebenaran harus diuji dalam peristiwa-peristiwa aktual dalam panggung kehidupan, dan baru setelah teruji ia dapat diakui sebagai kebenaran. (http.ahmadsamantho. wordpress.com.(30/10/09)
Confucianisme merupakan awal mulainya kebudayaan China (Banyak kalangan ilmuwan dan sejarawan menganggap, bahwa sejak masa Khonghu Cu inilah pencatatan atas kebudayaan China lebih sistematis dilakukan jika dibandingkan dengan masa sebelumnya – Hasan Karman) . Confucius menempati posisi penyusun terpenting yang mempersiapkan dan menyaring warisan kebudayaan dan etika bangsa China.
Pertanyaan besar yang umumnya diberikan kepada Confucianisme adalah apakah ia merupakan suatu agama ataukah etika filosofi hidup. Pertanyaan ini muncul karena tulisan dan pengajaran Confucius jelas lebih menekankan keduniawian daripada masalah surgawi. Namun meskipun demikian, Confucius tidak menolak keberadaan dewa-dewi dan makhluk-makhluk roh China. Ia hanya tidak tertarik kepada hal-hal tersebut. Jadi, sebuah basis religius yang berpusat pada kombinasi animisme dan penyembahan leluhur mendasari sistem etika Confucianisme. Dewa yang paling penting adalah Shang Ti, yang merupakan leluhur tertinggi dan diidentikkan dengan surga. Sejak semula, kaisar mewakili rakyat melakukan upacara korban tahunan untuk Shang Ti di altar surga dekat Beijing. Praktek ini berlangsung sampai masa Republik (1912). (http.www.semarang- ministry.com.01/10.10)
Budaya dan agama China berdiri sangat mapan ketika Confucius (551-479 BC.) tampil. Ia diberi nama Chiu Kung ketika lahir di kerajaan Lu, dan menurut catatan ia merupakan anak terkecil dari 11 bersaudara. Sebagai anak muda yang terlalu cepat dewasa yang sangat haus belajar, ia menjadi seorang filsuf dan guru, dan segera membentuk sebuah kelompok pemuridan inti. Murid-muridnya menyebut dirinya Khonghu Cu/Kung Fu-tzu (Guru Besar Kung). Kemudian nama tersebut dilatinkan menjadi Confucius. Akhirnya Confucius memutuskan untuk menerapkan gagasan etika dan politisnya secara praktis dengan terjun ke pelayanan publik. Tradisi mengatakan bahwa ia cukup berhasil dalam posisinya, namun karena integritasnya, ia tidak bisa mendapatkan posisi kekuasaan apapun.
Confucius mengalami suatu masa kekecewaan dan penolakan, namun banyak di antara muridnya yang tetap mendampinginya. Ia terus mengajar, dan pada akhir hidupnya ia mengedit kitab-kitab yang kini dikenal sebagai Classics. Kitab-kitab ini terdiri dari Kitab Sejarah, Puisi, Perubahan dan Ritual. Setelah Confucius meninggal pada usia 73, murid-muridnya mengumpulkan perkataannya, yang terkenal dengan nama Analects Confucius. Pada dekade berikutnya, murid-muridnya menulis kitab-kitab lain yang menolong menyebarkan dan mempopulerkan pengajaran Confucius. Confucius tidak pernah bermaksud menciptakan sebuah agama. Ia bahkan tidak mau manusia menyandarkan diri kepada dewa-dewi untuk keselamatan. Namun ironisnya, pada akhirnya ia didewakan di mata bangsa China. (http.www.semarang- ministry.com.01/10.10)
C. Konsep Kebenaran Menurut Konfusianisme
(http.ahmadsamantho.wordpress.com.30/10/09)
Konsep Kebenaran.Kebenaran bukan sesuatu yang diturunkan begitu saja dari langit tanpa ikhtiar dari manusia. Ia juga bukan prinsip mujarad (abstrak), tetapi suatu prinsip yang harus dapat dibuktikan dan dijumpai dalam peristiwa kemanusiaan. Konfusius (551-479 M) misalnya dalam kitab agungnya Lun Yu memberi contoh bagaimana Kaisar Yao yang arif berulangkali bercermin pada peristiwa dan pengalaman masa lalu dalam upayanya mendapatkan kebenaran yang memiliki keabsahan sejarah. Kebenaran sejarah sangat penting karena merupakan peristiwa yang telah terjadi. Oleh sebab itu orang Cina menggemari cerita sejarah seperti Sam Kuo (Kisah Tiga Kerajaan). (http.ahmadsamantho. wordpress.com.30/10/09
Kebenaran dapat dijumpai dan diuji hanya dalam peristiwa kemanusiaan, maka rekaman kebenaran hanya dapat dicari dalam catatan sejarah. Karena itu falsafah tidak dapat melepaskan diri dari pengetahuan sejarah. Sebagai contoh ialah Konfusius. Dalam menyusun karya falsafahnya dia selalu menjenguk ke dalam sejarah. Yang dilihat dalam sejarah bukan hanya peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang berubah-ubah, tetapi juga peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang mengandung prinsip-prinsip kekal atau langgeng. Ini dapat dibuktikan pada penggunaan kata ching untuk menyebut ‘klasik’. Arti harafiah ching ialah yang tetap dan tak bergerak.
Dalam menyusun falsafahnya Konfusius menggunakan Kanun Klasik Cina, yaitu Empat Kitab dan Lima Sejarah Klasik. Ching di sini dipahami sebagai hukum alam yang mengendalikan pemerintahan, masyarakat, perkembangan agama dan aspek-aspek utama kebudayaan Cina. Semenjak tahun 124 SM sampai tahun 1905 Empat Kitab dan Lima Sejarah Klasik telah diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan Cina, dan baru diperbaharui kemudian setelah revolusi yang dipimpin Sun Yat Sen. Sampai masa itu kitab-kitab tersebut diajarkan sebagai buku pelajaran standar.
Kebenaran harus diuji dalam peristiwa-peristiwa aktual dalam panggung kehidupan, dan baru setelah teruji ia dapat diakui sebagai kebenaran. Konsep kebenaran bukan sesuatu yang diturunkan begitu saja dari langit tanpa ikhtiar dari manusia. Ia juga bukan prinsip mujarad (abstrak), tetapi suatu prinsip yang harus dapat dibuktikan dan dijumpai dalam peristiwa kemanusiaan. Konfusius (551-479 M) misalnya dalam kitab agungnya Lun Yu memberi contoh bagaimana Kaisar Yao yang arif berulangkali bercermin pada peristiwa dan pengalaman masa lalu dalam upayanya mendapatkan kebenaran yang memiliki keabsahan sejarah.
Kebenaran sejarah sangat penting karena merupakan peristiwa yang telah terjadi. Oleh sebab itu orang Cina menggemari cerita sejarah seperti Sam Kuo (Kisah Tiga Kerajaan). Contoh lain ialah penganut madzab Chu Hsi (1130-1200 M), yang mewakili sayap rasionalis dari Neo-Konfusianisme, mengemukakan bahwa prinsip-prinsip kebeneran itu melekat dalam segala sesuatu dan segala peristiwa yang terdapat di dunia. Sedangkan madzab Wang Yang-ming (1472-1529 M), yang mewakili sayap idealis dari Neo-Kounfusianisme, mengemukakan bahwa prinsip tersebut melekat dalam pikiran manusia. Sekalipun demikian kedua madzab tersebut sepakat bahwa prinsip-prinsip tersebut dapat diuji dalam berbagai peristiwa yang aktual. Dalam kenyataan falsafah Cina tidak membedakan antara realitas dan aktualitas. Karena kebenaran dapat dijumpai dan diuji hanya dalam peristiwa kemanusiaan, maka rekaman kebenaran hanya dapat dicari dalam catatan sejarah. (http.indonesiafile.com, 02/08/08)
Semenjak abad ke-2 SM pula falsafah dijadikan penghubung antara peristiwa-peristiwa politik dan gejala-gejala astronomis. Asas ching mendorong timbulnya berbagai kebangkitan atau renaisance intelektual serta mendorong pula pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan alam. Ching sebagai hukum alam menyingkap peristiwa-peristiwa sejarah dan alam, serta memiliki ciri moral tertentu. Dengan begitu ada korelasi antara gerak alam dan kegiatan manusia. Keduanya, gerak alam dan kegiatan manusia, disebut shih, artinya ialah kejadian, peristiwa, lakon kehidupan. Keduanya juga sama-sama tunduk pada seperangkat hukum yang sama. Hasil akhir dari keduanya ialah hukum atau ketetapan moral.
Karena itu dalam falsafah Cina, khususnya Konfusianisme, sangat jarang dibicarakan pertentangan antara kebenaran dan kekeliruan, atau benar dan salah. Yang ditekankan ialah masalah kebaikan dan keburukan. Tetapi dalam peringkat transendental atau metafisis, diakui tidak ada pertentangan antara baik dan buruk. Ch’eng Hao, seorang penganut Konfusianisme, mengatakan, “Baik dan buruk adalah asas alam. Yang disebut buruk pada mulanya tidak buruk.” Jadi menurutnya semua asas alam itu baik. Perkataan benar dan salah (shih-fei) hanya memiliki konotasi moral.
Sebagian besar filosof Konfusianis memandang bahwa kebenaran datang dalam kehidupan hanya apabila ia dilaksanakan secara kongkrit oleh seseorang dalam kehidupan nyata. Untuk melaksanakan ‘kebenaran’ diperlukan kecerdasan dan kecakapan, dan itu dicapai melalui latihan dan pembelajaran yang berdisiplin. Berkaitan dengan kebenaran yang demikian digunakan kata-kata t’i-jen, yang artinya lebih kurang ialah kebenaran yang dilaksanakan dan dibuktikan secara pribadi. T’i-jen mencakup pemahaman yang kritis dan rasional terhadap sesuatu, meliputi arti, makna dan kegunaannya. Puncak t’i-jen ialah pemahaman secara intuitif terhadap segala sesuatu.
Wang Yang-ming mengatakan, “Pelaksanaan kebenaran didahului dengan senantiasa melakukan sesuatu.” Kebenaran tertinggi harus dilaksanakan di tengah peristiwa kemanusiaan dan dapat dipahami hanya melalui peristiwa kemanusiaan. Tidak ada kebenaran yang amoral, sebab semua kebenaran mengandung keterkaitan moral. Hubungan antara kebenaran dan pengalaman, kata-kata dan tindakan, merupakan sesuatu yang mendasar. Konfusius pernah mengatakan, “Kudengar perkataan seseorang, kemudian kuperhatikan perbuatannya.” (http.ahmadsamantho.wordpress.com.30/10/09)
Untuk melihat bagaimana teori dan praktek, kebenaran dan pengalaman, dipahami sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dalam pemikiran filosof Cina, ialah dengan melihat bagaimana mereka menyebut kearifan atau falsafah . Di Cina falsafah disebut che, yang artinya sama dengan sophia (Yunani), al-hikmah (Islam) dan darsana (India).Artinya ialah kebijakan atau kearifan yang dihasilkan melalui pemikiran, pengamatan dan penelitian. Dalam huruf Cina kata-kata che dirangkai dari kata ‘mulut’ dan ‘tangan’.
Hasil akhir dari keduanya ialah hukum atau ketetapan moral. Karena itu dalam falsafah Cina, khususnya Konfusianisme, sangat jarang dibicarakan pertentangan antara kebenaran dan kekeliruan, atau benar dan salah. Yang ditekankan ialah masalah kebaikan dan keburukan. Tetapi dalam peringkat transendental atau metafisis, diakui tidak ada pertentangan antara baik dan buruk. Ch’eng Hao, seorang penganut Konfusianisme, mengatakan, “Baik dan buruk adalah asas alam. Yang disebut buruk pada mulanya tidak buruk.” Jadi menurutnya semua asas alam itu baik. Perkataan benar dan salah (shih-fei) hanya memiliki konotasi moral.

Sebagian besar filosof Konfusianis memandang bahwa kebenaran datang dalam kehidupan hanya apabila ia dilaksanakan secara kongkrit oleh seseorang dalam kehidupan nyata. Untuk melaksanakan ‘kebenaran’ diperlukan kecerdasan dan kecakapan, dan itu dicapai melalui latihan dan pembelajaran yang berdisiplin. Berkaitan dengan kebenaran yang demikian digunakan kata-kata t’i-jen, yang artinya lebih kurang ialah kebenaran yang dilaksanakan dan dibuktikan secara pribadi. T’i-jen mencakup pemahaman yang kritis dan rasional terhadap sesuatu, meliputi arti, makna dan kegunaannya. Puncak t’i-jen ialah pemahaman secara intuitif terhadap segala sesuatu.
Wang Yang-ming mengatakan, “Pelaksanaan kebenaran didahului denga senantiasa melakukan sesuatu.” Kebenaran tertinggi harus dilaksanakan di tengah peristiwa kemanusiaan dan dapat dipahami hanya melalui peristiwa kemanusiaan.
(http.indonesiafile.com, 02/08/08)

D. Filsafat Confusianisme dan Pengaruhnya
Pemikiran Confusianisme yang didasarkan atas prinsip keseimbangan yin dan yang. Prinsip keseimbangan menjadi hal utama yang dibahas sehingga keseimbangan yang mengatur hidup kita juga seimbang. Dengan aturan keseimbangan ini memberikan dampak yang begitu besar khususnya bagi masyarakat Cina.
Confusius menganjurkan agar orang belajar dan mempraktekan apa yang dipelajari sehingga menjadi seorang intelektual yang lengkap, orang seperti ini beliau sebut sebagai Qun Zi atau seorang intelektual-bijaksana,selain itu dia harus tatap tenag dalam segala situasi agar dapat menyelesaikan persoalan-persoalan penghidupan dengan rasional. Ajaran Confusianisme mengajarkan bahwa kita harus bisa mengatur harta yang baik terutama pendidikan anak-anak. Unsur pendidikan ini dalam Confusianisme karena para cendikiawan dihormati jauh lebih tinggi dibandingkan kekayaan.
Itulah sebabnya di Amerika saat ini kebanyakan mahasiswa peringkat atas diduduki oleh orang-orang dari Hong Kong, Cina, Taiwan, Singapore, Korea, dan Jepang yang ternyata negara-negara tersebut dipengaruhi ajaran Confusianisme.Kemudian daripada itu ajaran Confusianisme berdampak pula pada ekonomi Cina itu sendiri. Dengan adanya konsep kerja keras dan kekerabatan yanmg dijunjung tinggi, merupakan jaminan link keberhasilan ekonomi masyarakat Cina secara keseluruhan. Selain itu faktor kecintaan terhadap negara induk (RRC), menjadi sebuah motivasi besar bagi mereka, untuk berusaha seoptimal mungkin agar mampu memberikan kontribusi bagi negaranya tersebut, sekalipun mereka hidup di negara orang lain. (http. labibsyauqi. blogspot. com. (06/2009)
Secara ekonomi Cina memang mempunyai kompeten yang besar, bahkan Amerika sekalipun segai sebuah negara super power merasa riskan dengan keberadaan Cina tersebut. Selain faktor kerja keras, kekerabatan, faktor jumlah penduduk yang besar dan tersebar dimana-mana mempunya andil besar dalam roda perekonomian Cina. Kemudian daripada itu, tradisi kultural yang lekat dengan kehidupan orang Cina, merupakan faktor penetralisir, serta pendorong upaya pencerahan bagi kehidupan yang jauh lebih baik.
Bagi orang Cina sendiri keberadaan faktor ekonomi secara otomatis merupakan faktor pendukung majunya pendidikan (kemajuan intelektual). Filsafat Timur dianggap lebih magis dan bersifat irasional. Namun, ajaran Confusianisme yang termasuk filsafat Cina ini yang sebenarnya bukan aliran agama, tetapi aliran falsafah hidup yang tidak mengesampingkan dasar-dasar kepercayaan lama, sehingga mampu memelihara kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina dalam waktu tak kurang dari dua ribu tahun.
Orang Barat mengangap filsafat pemikiran Timur terutama Cina tidak selalu bersifat rasio (irasional) namun, dari uraian pengaruh confusianisme di atas terlihat jelas bahwa pemikiran confusianisme ini bersifat nalar rasional karena pemikiran ini sesuai dengan kehidupan sehari-hari orang Cina.
Namun, pendapat tersebut bisa dibantah ternyata pada masa kejayaan Eropa 300 tahun yang lalu, banyak sarjana dan kaum intelektual terinspirasi oleh ajaran Khonghucu. salah satu diantara mereka adalah Gottfried Wilhelm Von Leibniz, bahkan mengusulkan pada tahun1689 suatu program pertukaran budaya Timur-Barat, mungkin usul pertukaran budaya ini merupakan pertukaran pertama internasional. dari pertukaran budaya diatas terlihat bahwa sekarang ini filsafat cina tidak lagi magis dan Irrasional, malahan filsafat Confusianisme ini bisa mempengaruhi perkembangan pemikiran di dunia. (http. labibsyauqi.blogspot.com. (06/2009)
E. Pengikut Confucius
1. Mencius
Mencius, seorang confucian yang hidup pada abad ke-4 BC, mengklaim bahwa alaminya manusia adalah baik. Dengan ini, dia mengartikan bahwa manusia terlahir untuk cenderung berakhlak baik. Tanpa diajari, setiap orang setidak-tidaknya memiliki perasaan yang kecil untuk bersimpati pada kesusahan orang lain. Serupa dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang orang-orang merasa malu untuk dikerjakan. Menurut Mencius, jika kita mengolah perasaan simpati ini, akan berkembang menjadi sebuah akhlak yang baik. Dan juga jika kita mengolah rasa malu, akan berkembang menjadi sebuah kebenaran (untuk bertindak benar).
Mencius mempercayai bahwa adalah sebuah tugas manusia untuk mengolah dasar-dasar kebaikan dalam alam untuk menyiapkan sifat kemanusiaannya. Karena dia berfikir bahwa setiap manusia semuanya sudah berkeinginan pada kebaikan. Mencius menekankan pentingnya konsentrasi internal atau refleksi dalam mengolah indra etiknya. Dia membandingkan pengolahan etika seperti menumbuhkan tanaman dewasa dari biji.
2. Xun Zi
Pemikir utama confusian yang lain adalah Xun Zi atau Hsun Tzu, yang hidup pada abad ke-3 BC. Xun Zi mengkritik dan berargumen bertentangan dengan pandangan Mencius, bahwa alaminya manusia adalah buruk. Oleh karena itu, Xun Zi mengartikan bahwa manusia aslinya tidak memiliki personalitas yang baik sejak lahir. Jika dibiarkan, maka manusia akan berbuat serakah, dengki, benci dan berhasrat.
Karena pandangannnya mengenai alaminya manusia, Xunzi menekankan pentingnya pendidikan dan perlunya seorang guru untuk menuntun muridnya dalam pelajarannya. Menurut pendapatnya, orang-orang harus diajar untuk berlatih moderasi dan mengontrol. Dia mengklaim, untuk mendapatkan sifat baik pada setiap orang seperti halnya dengan mengolah gelondongan kayu ke bentuk yang baru.
3. Dong Zhong Shu dan Dinasti Han.
Pada abad ke-2 BC, ilmuan Confucian Dong Zhong Shu mengkombinasikan pandangan Confucian yang lain. Seperti contohnya, dia memperkenalkan ide yin dan yang, dua aspek komplementer dan berlawanan yang ditemukan pada proporsi yang bervariasi pada setiap sesuatu di dunia. Aspek yin/yang ini meliputi gelap/terang, basah/kering, wanita/pria. Dia juga mengenalkan sebuah ide bahwa semua materi bergerak melalui lima fase: besi, kayu, api, tanah, dan air. Teori-teori ini berkenaan dengan struktur dari alam semesta yang memiliki pengaruh yang bertahan lama. (http.khosrouparviz. blogspot.com/2010/09)
Dong Zhong Shu hidup pada Dinasti Han (206 BC-220 AD), dan dia membuat percaya penguasa Han untuk mengadopsi Confucianism. Juga selama Dinasti Han, teks-teks yang dikenal dengan five classic, dibangun sebagai basis untuk pengajaran Confucianism. Teks-teks ini adalah shi jing/books of songs, shu jing/books of history, yijing/book of changes, chun qiu/spring and autumns annal, li ji/books of rituals.five classic ini berisi tentang prinsip-prinsip penting dari kepercayaan Konfucianism.
Kejadian lain selama Dinasti Han. Barangkali lebih penting untuk masa depan Confucianisme, adalah pengenalan Budha ke dalam china. Budha yang dimulai dari India, menjadi agama yang paling popular dan pergerakan filosofis di cina, dan bertahan selama beberapa abad. Beberapa konsep filsuf budha menjadi sebuah pusat untuk confucianisme juga. Konsep2 ini meliputi pentingnya pencapaiain pencerahan unutk mengatasi keegoisan, dan keterhubungan inter pada segala sesuatu.

Sumber
– http.ahmadsamantho.wordpress.com/2009/10/30
– http.indonesiafile.com
– http.khosrouparviz.blogspot.com/2010/09
– http.labibsyauqi.blogspot.com/2009/06
– http.semarang-ministry.com

 

Tinggalkan komentar