RSS

Pasca Ramadhan

RAMADHAN telah menempa diri kita memaknai arti cinta dan kasih sayang. Rahmah Allah SWT telah diturunkan, saat hamba-Nya menanti lama kehadiran bulan Ramadhan mubarak. Saat pelantun istighfar memohon ampunan, dosa-dosa pun berguguran secara perlahan. Tarawih dan Witir didirikan, lantunan al-Qur’an dikumandangkan, zakat, shadaqah, infak dan wakaf disalurkan, saat ini diripun kembali kepada fitrahnya, suci bersih bagai secarik kertas tanpa coretan sedikit pun di atasnya.
Kita telah dilatih Ramadhan, hidup dengan sangat berhati-hati. Bukan saja dalam persoalan yang makruh dan haram, bahkan sampai pada yang mubah dan halal. Kita tidak saja menjauhi makanan yang haram dan perzinaan. Tapi kita dilatih mengendalikan diri untuk makan makanan yang halal di hadapan kita dan mengendalikan diri bergaul suami isteri yang benar-benar syah menurut syariat agama. Begitulah hebat dan dalamnya nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah puasa Ramadhan. Kalau kita mampu mengendalikan diri dari hal-hal yang halal, maka kita akan lebih mampu untuk mengendalikan diri dari hal-hal yang haram. Inilah jalan sesungguhnya menuju ketakwaan kepada Allah Azzawajalla. Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah seseorang bisa mencapai derajad takwa, sehingga ia mampu meniggalkan sesuatu yang tidak apa-apa karena takut terjerumus kepada sesuatu yang berbahaya.” (HR. Tirmidzi)
Puasa juga mengajarkan kita untuk tidak menyepelekan sesuatu yang dilarang, meskipun itu sangat kecil dan sedikit. Selama berpuasa, kita betul-betul menjaga agar mulut tidak sampai kemasukan air meski hanya setetes. Kita tak mau pura-pura berpuasa, padahal kalau mau sangat mudah dilakukan. Mengapa? Karena kita merasa Allah SWT melihat kita di mana pun kita berada. Kita tak bisa dusta, kita tak bisa bersandiwara di hadapan Allah. Puasa, mengantarkan kita sampai pada derajat Ihsan. Yaitu, beribadah kepada Allah SWT seakan-akan melihat-Nya, atau paling tidak merasa dilihat oleh Allah SWT.
Kondisi yang sangat positif dari ajaran puasa, hendaknya tidak boleh sirna bersamaan dengan perginya bulan Ramadhan. Allah SWT ingin agar kita tetap berhati-hati seperti itu di bulan-bulan yang lain. Kehati-hatian yang sedemikian sangat hebat, andaikata benar-benar mewarnai kehidupan kita secara umum. Masya Allah betapa indahnya kehidupan ini.
Jika kita mengejahwantahkan ajaran puasa di tengah-tengah masyarakat, maka tidak akan ada yang berbuat mubazir, tidak makan yang haram, tidak ada perzinaan dan perselingkuhan, tak ada judi, tak ada minum-minuman keras, penyalahgunaan obat terlarang (narkoba), tak ada korupsi meski Rp 1.000, sebagaimana kita tak mau minum air meski hanya setetes karena takut puasa menjadi batal. Dan itu kita lakukan dengan penuh kesadaran, bukan karena ada polisi, bukan karena ada jaksa, bukan karena ada KPK, pendek kata bukan semata-mata karena adanya penglihatan manusia, tapi karena kita merasa di awasi oleh Allah Yang Maha Melihat. Maka betapa adil dan makmurnya negeri ini, otomatis terwujudlah keamanan, kesejahteraan dan kedamaian. Tampil sebagai bangsa yang sangat maju tidak bisa dipandang sebelah mata oleh negara asing. “Jika sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, (mereka durhaka dengan banyak berbuat dosa), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Al-A’raf: 96).
Saatnya kita bangun momen pembanguan yang benar, pembangunan jiwa atas dasar nilai takwa. Tidak perlu kita terlalu menggembar-gemborkan pembanguan fisik, tapi kita perlu membangun rohani. Tak perlu memuja ilmu pengetahuan dan teknologi, tapi kita perlu moral. Tak perlu hanya membangun sesuatu yang bisa dilihat, tapi kita butuh mendidik manusia agar bisa melihat.
Sangat nyata, bahwa bahaya yang kita hadapi saat ini adalah krisis moral, krisis hati dan krisis iman. Kita tidak dilanda krisis ekonomi, tidak terbelakang dari segi ilmu pengetahua dan intelektual. Bukan karena kita tak cerdas, bukan karena mata kepala kita buta. Tapi yang terjadi adalah kebutaan mata hati. “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang ada di dalam dada.” (Al-Haj: 46)
Selanjutnya Ramadhan telah mendidik rasa kebersamaan. Dengan semangat kebersamaan semuanya menjadi ringan dan penuh berkah. Puasa mudah kita lakukan karena kita lakukan bersama-sama. Shalat tarawih pun mudah kita laksanakan, karena kita lakukan dengan berjama’ah. Zakat, infaq dan sadaqah serta pelbagai amal kebajikan pun kita lakukan dengan semangat kebersamaan.
Ramadhan telah menjadi momentum untuk memakmurkan masjid dan mushalla. Maka salah satu dari hasil pendidikan Ramadhan adalah tetap makmurnya rumah-rumah Allah. Kalau masjid dan mushalla kita kembali sunyi dan sepi, maka berarti tak ada bekas yang tinggal dalam kehidupan kita ini. Masjid dan mushalla yang sepi pertanda masyarakat itu hati-hatinya terkunci. Dan bila masjid dan mushalla sepi dan hati terkunci, maka jangan salahkan bila kita menderita kesulitan ekonomi. Bukan karena sumber ekomoni itu yang sedikit, tapi karena hati kita yang keras dan tandus, maka tanah yang subur tiadalah berarti. Yakinlah, bahwa masyarakat yang memakmurkan masjid atau ,mushalla niscaya dimakmurkan Allah. Tapi masyarakat yang berani menelantarkan masjid dan mushalla dan menolak undangan Allah, menolak seruan Allah, maka sudah sepantasnya bila mendapatkan teguran dari Allah. “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menguasai antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan.” (Al-Anfal: 24)
Selama Ramadhan tak henti-hentinya lidah kita melantunkan Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan untuk kita jadikan sebagai pedoman hidup. Bukan sekedar sebagai bacaan hidup. Maka berikutnya tak cukup bagi kita membaca dan khatam. Al-Qur’an harus kita pahami, kita hayati dan kita amalkan sebagai petunjuk dalam keseluruhan detail prikehidupan. Tak bisa Al-Qur’an itu hanya dibaca ketika ada yang meninggal dunia, saat pesta pernikahan, cukuran dan khitanan anak, pindah rumah dan sebagainya.
Justru Al-Qur’an harus kita buka ketika kita ingin tahu bagaimana seharusnya kita hidup di dunia ini. Membahas ekonomi kita buka Al-Qur’an, soal hukum kita baca Al-Qur’an, tentang pemerintahan, politik, pendidikan, keluarga bahkan semua sisi kehidupan berpedomanlah pada Al-Qur’anul Karim.
Al-Qur’an adalah surat terindah dari Allah untuk kita. Dengan keindahan itulah kita selalu rindu untuk melantunkannya. “Sesungguhnya Al-Qur’an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal shaleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (Al-Isra’: 9)
Karena itu berawal dari rumah tangga masing-masing mari kita bangun keluarga dengan akhlak yang mulia. moral yang tinggi, sopan santun yang luhur, budi pekerti yang terpuji. Dengan demikian Insya Allah Islam akan jaya membawa negeri ini tampil di depan memimpin peradaban dunia dengan cahaya Ilahi. “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-dosamu. Dan barang siapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (Al-Ahzab: 70-71).
Kita bermohon kiranya Allah berkenan menerima ibadah-ibadah yang telah kita lakukan, mengampuni dosa-dosa dan kesalahan yang telah kita perbuat. Di antara kita pun mari saling maaf dan memaafkan atas segala salah dan khilaf. Akhirnya kodrad kefitrahan kita benar-benar terwujud di hari dan bulan yang penuh kemulian ini. Wallahu a’lam bissawab.

 

Komentar ditutup.