RSS

Etika Yang Dipertanggungjawabkan

ETIKA YANG DIPERTANGGUNGJAWABKAN
Oleh Salwinsah
A. PENDAHULUAN
Etika (etimologik) berasal dari kata Yunani ‘ethos’ yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata Latin ‘mos’ dalam bentuk jamaknya ‘mores’ yang berarti juga adat atau cara hidup. menurut Ki Hajar Dewantara, etika adalah ilmu yang mempelajari segala soal kebaikan (dan keburukan) dalam hidup manusia secara menyeluruh, teristimewa yang mengenai gerak-gerik fikiran dan rasa yang dapat merupakan pertimbangan dan perasaan sampai mengenai tujuannya yang dapat merupakan perbuatan.
Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai sementara etika dipakai untuk pengkajian system nilai-nilai yang ada.
Etika merupakan salah satu cabang dari filsafat. Etika mencari kebenaran dan sebagai filsafat ia mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya. Sebagai tugas tertentu bagi etika, ia mencari ukuran baik-buruknya bagi tingkah laku manusia. Etika hendak mencari tindakan manusia manakah yang baik.
Etika sangat berhubungan dengan seluruh ilmu pengetahuan tentang manusia dan masyarakat sebagai antropologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, ilmu politik dan ilmu hukum. Perbedaannya terletak pada aspek keharusannya. Perbedaannya dengan theology moral, karena tidak bersandarkan pada kaedah-kaedah keagamaan tetapi terbatas pada pengetahuan yang dilahirkan tenaga manusia sendiri.
Sebagai salah satu cabang kajian filsafat, etika yang bersifat praksiologik perbincangannya tidak terlepas pada masalah etika normative yang merupakan suatu pedoman yang mengarahkan secara konnkrit tentang bagaimana manusia harus bertingkah laku. Konsep etika yang masih bersifat sebagai nilai dasar yang abstark selalu baik. Realita kehidupan manusia yang konkrit akan memaksa suatu konsep etika yang memerlukan dataran baru, konsep abtrak nilai yang timbul adalah analisis meta-etika yang menanyakan relevansi etika normative dalam kedudukannya sebagai etika makro. Pengalaman memberi solusi begitu konsep nilai dasar yang abstrak diturunkan ke tingkat normative akan terjadi kehilangan makna. Pertanyaannya apakah pada dasarnya konsep tersebut tidak membutuhkan ‘pelembagaan’ yang khusus.
Kalau kesan itu benar sebaiknya kedudukan etika normative sebagai suatu pedoman ditinjau kembali. Persoalan baru muncul atas dasar apakah perbuatan manusia akan dinilai. Kita semua sepakat manusia tidak dapat hidup tanpa pedoman. Benturan antara kebutuhan terhadap etika normative dengan keterbatasannya mengisyaratkan adanya kaitan meta-etika dalam persoalan ini. Persoalan yang ingin dipecahkan adalah kenyataan bahwa manusia meta-etika dari penjabaran nilai dasar paling tidak ia tetap berfungsi sebagai petunjuk. Khususnya ketika suatu nilai dasar sudah mulai dibuat sebagai norma yang tertutup, tidak menyesuaikan denga relativisme cultural maupun normatifnya.
Yang jelas tidak ada disiplin ilmupun yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan apakah sesuatu baik atau jahat. Apa yang dikejar pengetahuan akan menjelma menjadi bagai mana ditinjau dari segi etika. Maka etika dapat dijelaskan sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan bagaimana akibat teknik yang mengelola kelakuan manusia yang serba unik dari hari ke hari.

B. MATERI POKOK
1. Kebebasan sebagai Faktor Penentu
Disebut bebas apabila kemungkinan-kemungkinan untuk bertindak tidak di batasi oleh suatu paksaan dari peraturan tertentu. Bebas versi ini tentunya negative karena hanya dikatakan bebas dari apa, tetapi tidak ditentukan bebas untuk apa. Sementara bebas dalam makna positif sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Von Magnis, bebas tidak hanya dari sesuatu melainkan untuk sesuatu yang dapat membantu manusia untuk menentukan arah gerak-geriknya dalam melangkah.
Kebebasan mencakup tiga aspek, Kebebasan Jasmani maksudnya tidak ada paksaan terhadap kemungkinan-kemungkinan kita untuk menggerakan badan, tentunya disesuaikan dengan kemampuan gerak badan kita sendiri. Kebebasan Kehendak maksudnya, kebebasan untuk menghendaki sesuatu. Tolak ukurnya adalah sejauh jangkauan kemungkinan untuk berfikir karena manusia dapat memikirkan apa saja dan ia dapat menghendaki apa saja yang ia inginkan terlepas dapat diraih atau tidak. Kebebasan Moral, maksudnya tidak adanya macam-macam ancaman, tekanan larangan dan lain desakan yang tidak sampai berupa paksaan fisik. Dengan kata lain tidak ada kewajiban yang mesti ditunaikan.
Tuntutan kebebasan adalah tanggungjawab. Tidak mungkin ada tanggungjawab tanpa ada kebebasan. Maka kebebasan hakiki mengandung pengertian kemampuan untuk menentukan dirinya sendiri, kemampuan untuk bertanggungjawab, kedewasaan manusia dan keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan tujuan hidupnya.
2. Kesadaran Moral (Hati Nurani)
Kesadaran moral merupakan factor penting untuk memungkinkan tindakan manusia selalu bermoral, berprilaku susila dengan harapan tindakkannya akan sesuai dengan norma yang berlaku.
Hati nurani berasal dari kata conscienta (Latin) merupakan terjemahan dari suneidesis (Yunani) yang arti umumnya ‘sama-sama mengetahui perbuatan orang lain’. Jadi suneidesis dapat diterjemahkan dengan ‘sadar akan’ (perbuatannya sendiri).
Suneidesis harus dipelihara agar tetap bersih dalam keadaan murni seperti aslinya, atau seperti kodratnya. Orang yang menuruti kendali egomonitikon dan menjaga suneidesisnya diberi nama ‘cuncuneidetos’ yaitu orang yang ‘dalamnya’ baik atau orang yang hati nuraninya baik.
Van Magnis membagi tiga unsur kesadaran moral, pertama Perasaan Wajib adalah keharusan melakukan tindakan bermoral dalam hati sanubari tanpa pandang bulu. Kedua, Rasional adalah kesadaran moral yang berlaku untuk umum terbukti dengan pembenaran dan penyangkalan dan ketiga, Kebebasan adalah atas kesadaran moralnya seseorang bebas untuk mentaatinya. Bebas dalam dalam menentukan perilakunya dan di dalam penentuan itu sekaligus terpampang pula nilai manusia itu sendiri.

3. Hak, Kewajiban dan Keadilan
Hak adalah wewenangan atau kekuasaan secara etis untuk mengerjakan, meninggalkan, memiliki, mempergunakan atau menuntut sesuatu. Manusia memiliki hak karena ia memiliki kewajiban untuk mencapai tujuan akhir dengan hidup sesuai dengan hukum moral atau norma kesusilaan. Supaya manusia mampu melaksanakan kewajiban perlu adanya kebebasan untuk memilih alat atau cara yang dibutuhkan dengan tidak mendapat rintangan atau faham dari orang lain serta alat atau cara untuk mencapai tujuan perbuatan manusia, benar-benar mempunyai nilai kebaikan secara obyektif.
Kewajiban mengandung makna keharusan secara etis dan moral untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya, dengan kata lain kewajiban adalah sesuatu yang harus dilakukan atau ditinggalkan. Kewajiban membatasi hak, artinya tidak ada hak tanpa kewajiban, yang terjalin dalam hak adalah subyek kewajiban dan yang terjalin dalam kewajiban adalah subyek hak.
Dalam pelaksanaan kewajiban terletak apa yang disebut tanggungjawab. Manusia. Dipandang dari sisi ini tanggungjawab berarti sikap atau pendirian yang menyebabkan manusia mendapatkan bahwaa dia hanya akan menggunakan kemerdekaannya untuk melaksanakan perbuatannya yang susila.
Keadilan adalah pemberian dan penerimaan yang selaras antara hak dan kewajiban. Kesadaran dan pelaksanaan untuk memberikan kepada pihak lain sesuatu yang sudah semestinya harus diterima oleh pihak lain itu, sehingga masing-masing pihak mendapat kesempatan yang sama untuk melaksanakan hak dan kewajibannya tanpa mengalami rintangan atau paksaan. Memberi dan menerima yang selaras dengan hak dan kewajiban.

4. Kaidah Dasar Moral
Apabila memperhatikan keseluruhan teori etika maka akan sampailah pada kesimpulan bahwa manusia menjadi manusia yang sebenarnya jika ia menjadi manusia yang etis. Titik tolaknya adalah ia percaya kebenaran, kebaikan dan keadilan. Ia berusaha sekuat tenaga untuk berbuat secara benar, baik dan adil.
Secara umum ada dua kaidah dasar moral: Pertama, kaidah sikap baik adalah kewajiban bertindak sedemikian rupa sehingga ada kelebihan dari akibat baik dibandingakan akibat buruk (maksimalisasi). Kaidah ini hanya berlaku kalau kita menerima kaidah yang lebih besar lagi yaitu kita harus membuat yang baik dan mencegah yang buruk. Kedua, kaidah keadilan adalah keadilan dalam membagikan yang baik dan yang buruk. Berbicara tentang ketidakadilan apabila dua orang yang sifat-sifatnya cukup mirip dan yang berbeda dalam situasi yang mirip juga yang satu diperlakukan dengan lebih baik atau dengan lebih buruk daripada yang lainnya.
Bagimanapun konsep ketuhanan adalah dasar dari seluruh kesusilaan dan tujuan kesusilaan itu sebagai tujuan akhir suatu keadilan. Tanpa ketuhanan tidak mungkin ada kesusilaan yang berkembang.

5. Kebaikan, Kebajikan dan Kebahagian
Secara umum kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan, yang diusahakan dan menjadi tujuan manusia. Tingkah laku manusia adalah baik dan benar, jika tingkah laku tersebut menuju kesempurnaan manusia. Kebaikan tersebut bernilai apabila ia bagi seseorang menjadi kebaikan yang konkrit.
Dalam prakteknya tidak mungkin ada perbuatan kemanusiaan yang bersifat netral, sebab perbuatan itu setidak-tidaknya secara implisit mempunyai tujuan. Kesusilaan tidak semata-mata hanya tergantung pada maksud dan kemauan baik, orang harus menghendaki kebaikan. Perbuatan lahiriyah yang diperintahkan kemauan baik didasari oleh kemauan perbuatan bathiniah.
Kebiasaan (habit) merupakan kualitas kejiwaan, keadaan yang tetap sehingga memudahkan pelaksanaan perbuatan. Kebiasaan yang dari sudut kesusilaan baik dinamakan kebajikan (virtue) sedangkan yang jahat atau buruk dinamakan kejahatan (vice). Kebajikan adalah kebiasaan yang menyempurnakan manusia. Kebajikan budi menyempurnakan akal menjadi alat yang baik untuk menerima pengetahuan. Bagi budi spekulatif kebajikan disebut pengertian atau pengetahuan sedangkan budi praktis disebut kepandaian atau kebijaksanaan.
Kepuasan yang sadar yang dirasakan seseorang karena keinginannya memiliki kebaikan sudah terlaksana, disebut kebahagiaan. Ini merupakan perasaan khas makhluk berakal budi. Kebahagian sempurna terjadi karena kebaikan sempurna dimiliki secara lengkap sehingga memenuhi seluruh keinginan yang tidak sempurna atau berisi keinginan. Kebahagian sempurna tidak berarti kebahagian yang tidak terbatas, obyek tak terhingga tidak dimiliki dengan cara yang tak terhingga. Kodrat akal manusia terbatas, kekuatannya setiap saat juga terbatas. Tetapi datangnya kekuatan akal selalu tak terbatas dan tak dapat terpenuhi dengan baik. Hanya yang tak terhingga yang dapat memenuhinya. Dalam hidup di dunia ini pengetahuan kita masih gelap dan tidak tetap sehingga kebahagian yang sempurna tidak tercapai. Pengetahuan yang semakin sempurna akan tumbuh persesuaian dengan peraturan Tuhan.

6. Pemecahan Etika Normatif
Dua hal, menurut Immanuel Kant, yang selalu menimbulkan keheranan dan rasa terharu dalam jiwanya adalah langit yang penuh dengan bintang dan hukum moral dalam dirinya sendiri. Hukum alam adalah hukum akal dan hukum akal tercermin dalam hukum moral yang timbul dalam batin manusia. Kemanuan manusia diatur oleh akalnya maka hukum morallah yang mengatur orang dalam dirinya sendiri. Jadi moral manusialah yang membawa manusia ke dalam hubungan teratur dalam jagad ini.
Moral manusia bagi Kant berarti kewajibannya. Hukum alam timbul dalam batin manusia sebagai rasa kewajiban atau disebut juga sebagai kata hati. Kewajiban manusia adalah patuh pada hukum moral dalam batinnya. Hukum moral yang menghendaki supaya kewajiban seseorang harus berada di atas keinginan dan dorongan seseorang harus berada di atas keingingan dan dorongan alamnya dengan rumusan “kamu harus.”
Sejak zaman Yunani kuno sampai sekarang aliran perwujudan diri sendiri terkenal dalam aliran etika dan pendidikan. Yang baik menurut aliran ini adalah ‘pengisian sesuatu.’ Sesuatu yang hendak diisi itu bukanlah alam tetapi diri manusia sendiri. Perwujudan diri sendiri berarti perkembangan secara harmonis segala kesanggupan manusia yang normal.

7. Universal dan Relativitas Norma Moral
Manusia dalam seluruh aspek hidupnya tergantung dari norma. Salah satunya adalah norma moral. Norma moral mewajibkan manusia secara mutlak tetapi di samping itu ia tidak memaksa orang. Di sinilah makna kebebasan: bebas untuk memilih, untuk mau taat kepada norma moral, dapat pula masa bodoh bahkan menentangnya.
Norma moral dapat berfungsi mewajibkan karena norma itu terbebas dari kemauan manusia. Manusia tidak menguasai norma moral tetapi norma moral menguasai manusia. Norma moral mempunyai sifat sebagai perintah ‘kamu harus’ dan ‘kamu jangan’ tanpa menghiraukan kehendak atau keinginan yang bersangkutan.
Ada kemungkinan dalam kehidupan manusia perbuatan baik “dicela” dan perbuatan buruk “dipuji”. Taat kepada norma moral, bisa berarti selamat tidak selalu berarti dengan bermanfaat. Maka secara moral tidak dapat diterima apabila orang berbuat kebaikan demi upah. Apabila ada upah yang berwujud materi misalnya, ini hanya sebagai akibat perbuatan yang baik yang tidak dimaksudkan sebagai tujuan utama sebelum itu dilaksanakan.

C. KESIMPULAN
Setelah menelaah pembahasan tentang etika (Filsafat Moral) maka harapannya adalah bagaimana mengupayakan supaya dapat hidup lebih baik. Bila lebih mendesak lagi maka jawabannya ingin belajar bagaimana cara untuk berbuat baik dan menghindari keburukan. Banyak pembicaraan tentang etika yang tidak pernah menyinggung masalah yang sebenarnya karena banyak yang mendasarkan diri pada prinsip pembenaran yang sama sekali berbeda. Seseorang mendasarkan pada kefaedahan, pencegahan keburukan dan lain sebaginya. Etika lebih menaruh perhatian pada pembicaraan tentang prinsip pembenaran daripada tentang keputusan yang sungguh-sungguh telah diadakan.
Persoalan etika adalah persoalan rumit. Pertanyaan tentang hakekat keadilan dan ketidakadilan, bahkan hakekat kebaikan dan keburukan seringkali tidak dapat dijawab secara memuaskan. Pemecahan yang mendekati kebenaran bagaimanapun sebuah norma etika harus bersifat terbuka, artinya terbuka kepada setiap pembenaran, penyanggahan maupun terbuka dalam arti tidak menganggap normanya sendiri paling benar dan norma-norma orang lain salah. Etika sebagai pengetahuan tidak akan berguna tanpa dilandasi sikap tanggung jawab, sebab etika itu suatu perencanaan menyeluruh yang mengaitkan daya kekuatan alam dan masyarakat dengan bidang tanggung jawab manusiawi.
Tanggung jawab hanya dapat dituntut apabila ada kebebasan untuk memilih. Apabila kebebasan sudah kita miliki mampukah kita mempunyai keberanian moral dalam arti mau menanggung akibat apapun dari perbuatan kita yang memilih prinsip kesusilaan atas dasar keyakinan kebenaran.
Etika tidak hanya menyebut peraturan-peraturan yang tak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan pertanyaan bagaimana manusia bertanggungjawab terhadap hasil-hasil pemikiran mereka. Etika harus mampu membuktikan keampuhannya dalam menjawab kasus-kasus konkrit yang tidak lagi member isyarat-isyarat umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa konkrit.
Lalu benarkah apa yang selalu kita lakukan itu adalah baik?
Wallahu a’lam bish-shawab…!
Disadur dari Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika

 

Tinggalkan komentar