RSS

Tips Maaf Memaafkan

Tips Maaf Memaafkan
Oleh Salwinsah
SEBAGAI makhluk sosial yang bergaul di tengah masyarakat, tentu kita tidak terlepas dari perlakuan yang tidak semestinya kita dapatkan. Mungkin dari tetangga, teman sejawat, atau siapa saja yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Sikap-sikap tersebut, tidak jarang menimbulkan kerugian bagi kita, nama baik tercemar, sakit hati, kehilangan harta, dijauhi masyarakat, dan lain sebagainya. Keadaan ini sering membuat kita marah, kecewa dan dendam, sehingga kita ingin membalas perbuatan orang-orang tersebut di lain kesempatan dan sulit untuk memaafkan.
Siapa pun kita pasti ada melakukan kesalahan, kekhilafan, dan kealpaan. Tak pelak lagi, manusia itu pulalah yang menjadi tempat “bersemayamnya” kesalahan. Tinggal lagi soal kualitas dan kuantitas kesalahan itu sendiri. Soal kualitas, artinya menyangkut kadar atau berat, dan soal kuantitas menyangkut banyak atau seringnya kesalahan itu dilakukan.
Menurut Imam Al-Ghazali, pengertian maaf itu ialah apabila anda mempunyai hak untuk membalas, lalu anda gugurkan hak itu, dan membebaskan orang yang patut menerima balasan itu, dari hukum qisas atau hukum denda.
Dalam sebuah hadits qudsi Allah Azza wa Jalla berfirman. “Nabi Musa telah bertanya kepada Allah, wahai Tuhanku!, manakah hamba-Mu yang lebih mulia menurut pandanganMu?” Allah Azza wa Jalla berfirman. “Ialah orang yang apabila berkuasa (menguasai musuhnya) dapat segera memaafkan.”
Dari hadits ini, Allah menjelaskan bahawa hamba yang mulia di sisi Allah adalah mereka yang berhati mulia, bersikap lembut, mempunyai toleransi tinggi dan selalu memberi maaf terhadap musuh.
Dia tidak bertindak membalas dendam atau sakit hati terhadap orang yang memusuhinya, walaupun telah ditertawakan, dijelek-jelekan, dihina dan sebagainya, melainkan memaafkannya karena Allah semata-mata. Orang yang seperti inilah yang dikenal berhati emas, terpuji kedudukannya di sisi Allah. Memaafkan lawan di mana kita berada dalam kemenangan, kita berkuasa, tetapi tidak dapat bertindak sekehendak hati. Inilah sifat mulia dan terpuji.
Memaafkan kesalahan seseorang adalah tanda orang yang bertakwa. Wajib memberi maaf jika telah diminta dan lebih baik lagi memaafkan meskipun tidak diminta. Sifat ‘tak kenal maaf’ atau ‘tiada maaf bagimu’ adalah sifat syaitan. Ia akan membawa keretakan dan kerusakan dalam pergaulan bermasyarakat. Masyarakat aman damai akan terwujud jika anggota masyarakat itu memiliki sikap pemaaf dan mengerti bahwa manusia tidak terlepas dari salah, alpa dan khilaf.
Imam Al-Ghazali memberi tiga panduan bagi memadamkan api kemarahan dan melahirkan sifat pemaaf. Apabila marah hendaklah mengucap “A’uzubillahi minassyaitaa nirrajim” (aku berlindung kepada Allah dari syaitan yang direjam). Apabila marah itu muncul ketika berdiri, maka hendaklah segera duduk, jika duduk hendaklah segera berbaring. Orang yang sedang marah, disunahkan mengambil wudhu dengan air yang dingin. Hal ini dikaranakan kemarahan itu berawal dari api, sementara api itu tidak bisa dipadamkan melainkan dengan air.
Mudah memaafkan, penyayang terhadap sesama dan lapang dada terhadap kesalahan orang merupakan amal shaleh yang keutamaannya besar dan sangat dianjurkan dalam Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman.
Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh. (Al-A’raf: 199)
Agama kita sangat mengajurkan untuk memaafkan orang lain. Di antara bukti anjuran itu adalah Allah janjikan surga yang luasnya seluas langit dan bumi untuk orang yang memaafkan. Allah berfirman,
“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 133-134).
Namun pada praktikknya, bersabar dan memaafkan gangguan orang lain ini bukanlah perkara yang mudah. Bagi kita bersabar atas musibah samawiyah seperti banjir, gempa bumi, gunung meletus, rasa sakit yang kita derita dan lain-lain. Musibah seperti ini relatif lebih mudah bagi kita untuk bersabar, tetapi kalau musibah itu ditimbulkan akibat gangguna orang lain lebih sulit bagi kita untuk bersabar.
Berikut sikap untuk meraih predikat pemaaf agar lebih mudah memaafkan orang lain.
Pertama: Sikap yang pertama adalah kita meyakini bahwa perbuatan orang kepada kita adalah bagian dari takdir Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Dia tetapkan untuk kita. Allah-lah yang menciptakan perbuatan para hamba, sebagaimana dalam firman-Nya, “Dan Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. Ash-Shaffat: 96).
Oleh karena itu, kita pandang perbuatan yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh orang-orang kepada kita adalah takdir Allah SWT kepada kita. Dan sebagai hamba Allah, kita menerima dan beriman kepada takdir yang Allah tetapkan. Kita taruh dalam benak kita bahwa orang-orang ini adalah hanya sebagai alat atau perantara takdir Allah itu terjadi pada kita. Sehingga kita paham bahwa Allah-lah yang pada hakikatnya menimnpakan musibah kepada kita melalui orang yang berbuat aniaya kepada kita.
Kedua: Ingatlah bahwa kita banyak melakukan perbuatan dosa. Dan musibah ini terjadi juga karena disebabkan dosa-dosa kita. Allah SWT menjadikan orang-orang berbuat aniaya kepada kita karena perbuatan dosa yang kita lakukan.
“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. Asy-Syura: 30).
Oleh karena dosa-dosa yang kita lakukan, maka wajar ada orang yang berbuat aniaya kepada kita. Allah menakdirkan hal tersebut sebagai pengingat bagi kita yang banyak melakukan dosa atau juga sebagai balasan karena kita pernah berbuat aniaya kepada orang lain.
Ketiga: Tanamkan pada diri kita bahwa bersabar dan memaafkan mendatangkan pahala yang sangat besar. Di antara pahala tersebut adalah Allah katakan orang yang sabar itu bersama Allah. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.”
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar: 10)
“Maka barang siapa mema’afkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)
Inilah beberapa ayat yang menjanjikan pahala yang begitu luas bagi orang-orang yang memaafkan.
Keempat: Hendaklah kita tanamkan di jiwa kita sebuah prinsip bahwa balasan itu tergantung bentuk perbuatannya. Ketika kita sadar bahwa kita adalah orang yang banyak berbuat dosa kepada Allah SWT, baik disebabkan oleh hati kita, lisan kita, atau anggota badan kita, baik yang kita sadari maupun yang tidak, maka tentunya kita akan amat sangat butuh ampuna Allah SWT. Dengan kita memberikan maaf kepada orang-orang yang telah bersalah kepada kita, orang-orang yang bersifat buruk kepada kita, dengan amalan ini kita berharap Allah pun mengampuni kita atas perbuatan dosa kita dan aniaya kita terhadap diri sendiri.
Kita berharap, ketika kita mudah memaafkan orang lain, mudah-mudahan Allah pun akan mudah memaafkan segala kesalahan kita. Inilah buah dari prinsip “balasan itu tergantung jenis atau bentuk amalan yang dilakukan”.
Kelima: Tidak membalas perbuatan aniaya orang lain kepada kita adalah sunnah Nabi Muhammad SAW. Kita semua yakin tidak ada orang yang lebih mulia dan tidak ada orang yang lebih agung harga dirinya, lebih terhormat, daripada Nabi Muhammad SAW. Bersamaan dengan itu, tidak pernah satu kali pun beliau membalas penganiyaan orang lain terhadap dirinya. Kehormatan dan harga diri kita yang tidak ada bandingnya dengan Rasulullah SAW semetinya lebih pantas untuk memaafkan orang-orang yang berbuat tidak baik kepada kita.
Keenam: Jika kita mampu untuk mengendalikan diri kita untuk tidak membalas, perbuatan ini adalah sebuah kebaikan yang besar.Apabila kita mampu menguasai diri kita untuk tidak membalas orang-orang yang berbuat aniaya kepada kita meskipun kita mampu melakukannya, maka untuk mengendalikan diri kita pada perkara-perkara yang lainnya, itu akan menjadi lebih mudah. Jadi kebaikan ini akan melahirkan kebaikan-kebaikan yang lainnya. Demikianlah sunatullahnya, kebaikan akan membuahkan kebaikan yang lain.
Ketujuh: Perbuatan membalas dendamakan menyeret kita melakukan aniaya kepada orang lain. Hampir semua orang yang membalas, mereka akan membalas dengan perbuatan yang lebih sadis. Sehingga yang sebelumnya dia adalah orang yang dizalimi, tetapi dengan membalas kemudian melakukan balasan yang lebih, keadaan pun berganti, dia menjadi orang yang zalim. Ini adalah kerugian yang sangat besar.
Waspadai jangan sampai kita menjadi orang yang zalim. Bentengi diri agar tidak membalas kezaliman orang lain. Biarlah kita menempati posisi yang dizalimi kemudian bersabar sehingga, nantinya kita akan meraih kebaikan-kebaikan yang amat sangat banyak, sebagaimana janji-janji Allah SWT dalam firman-firman-Nya tadi.
Mudah-mudahan sikap-sikap yang diuraikan di atas mampu membantu agar kita menjadi hamba-hamba yang ringan memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah kepada kita, yang telah berbuat jahat kepada kita, demi meraih ganjaran yang lebih besar di sisi Allah SWT.
Momentum Idul Fitri 1436 H yang masih dalam pangkuan kita, mari kita jadikan ajang saling maaf, sehingga kita benar-benar menjadi orang yang fitrah (suci) bagai secarik kertas putih bersih tanpa ada coretan sehalus titik pun, amin ya rabbal ‘alamiin. (Khutbah Jum’at di Masjid Baiturrahim (TAC) Telanaipura Kota Jambi, 24/07/2015)

 

Tinggalkan komentar