RSS

Menebus Pemilih dan Politisi Murahan (Dari Kacamata Pendidikan)

Menebus Pemilih dan Politisi Murahan
(Dari Kacamata Pendidikan)
Oleh Salwinsah
win12SAMPAI hari ini, dunia pendidikan masih dihadapkan dengan percampur-bauran antara rasa bangga dan iba. Belum lagi hidangan dari beraneka peristiwa politik yang menampakkan wajah ‘tak sedap dalam dunia perpolitikan. Kerusuhan dalam proses pilkada, misalnya, pemimpin terpilih yang digugat, keputusan gugatan yang pro dan kontra, kongres partai politik yang dinamakan islah, tetapi dihiasi percekcokan, pernyataan tokoh-tokoh politik yang ‘abu-abu’ maksud dan tujuannya, hari ini bilang “a”, besok berkata “b”. Pemandangan perilaku politik negeri ini belum menampakkan ke arah kemajuan secara signifikan.
Masih adakah secercah harapan yang dapat dilakukan dunia pendidikan guna menjamin lahirnya generasi politik yang lebih santun dan bertanggung jawab di masa depan? Untuk menjawab pertanyaan ini, butuh rangkaian diskusi, debat, dialog atau seminar, pun akhirnya akan menghasilkan pandangan beragam antara optimistis, pesimistis, bahkan berpandangan sinis.
Bukan Pada Partai
Politisi selayaknya adalah public figure yang mampu menjadi lokomotif bagi kemajuan daerah, bangsa dan negara. Dengan demikian, setiap public figure semestinya memiliki kapabel dibanding khalayak umum. Jika partai politik gegabah merekrut kader yang tidak kapabelitas untuk dinobatkan menjadi wakil rakyat atau pemimpin (di level nasional maupun lokal) maka layak disebut sebagai ironi. Ironi demokrasi sangat memungkinkan membawa bangsa dan negara tidak seirama dengan nurani rakyat. Bahkan lumbung korupsi bisa semakin merajalela dan berbagai skandal memalukan akan bermunculan dengan warna lebih tajam.
Keberhasilan merebut kekuasaan secara demokratis ditentukan oleh selera massa, bukan oleh kualitas partai politik. Jika selera massa masih rendah bisa jadi akan memilih figur tanpa mempertimbangkan kapabelitasnya. Sedangkan selera massa lazimnya terbentuk sesuai dengan level didaktis. Realitanya, jika mayoritas rakyat kurang berpendidikan, sangat mungkin akan berselera rendah dalam menentukan pilihannya. Sebaliknya, jika mayoritas rakyat berpendidikan cukup, maka seleranya juga akan tinggi dalam memilih wakil rakyatnya.
Degradasi moral politik bisa jadi tidak dianggap riskan bagi masa depan bangsa dan negara oleh partai-partai yang hanya mengutamakan kemenangan dalam perebutan kekuasaan. Pada titik ini, setiap partai dan calon wakil rakyat yang diusungnya bisa mengambil jalan pintas untuk merebut simpati publik dengan memanfaatkan hiperbolisme iklan, kompetisi baleho raksasa, kekeluargaan, aji mumpung sampai pada money politic.
Sementara polititk yang sehat merupakan syarat utama untuk menghasilkan masyarakat yang demokratis. Tanpa politik yang sehat, akan membuat demokrasi dan masyarakt kehilangan arah, akhirnya bermuara pada kebebasan politik yang tidak terkontrol, ujung-ujungnya konflik sosial pun mengintai.
Politik dan Pendidikan
Budaya politik dibentuk dan dikembangkan oleh pelaku politik itu sendiri. Apa yang akan ditentukan oleh pelaku politik, merupakan ciri utama budaya politik mereka sampai batas tertentu. Semua itu sangat berpengaruh terhadap pendidikan yang mereka dapatkan. Artinya secara tidak langsung antara budaya politik dan pendidikan memiliki keterkaitan dan saling mempengaruhi. Walau pendidikan tidak secara final mampu membentuk perilaku politik seutuhnya, namun pendidikanlah awal terbentuknya dasar-dasar perilaku calon pelaku politik. Jika dasar-dasar ini baik dan kokoh, besar kemungkinan (probabilitasnya) akan lahir pelaku-pelaku politik yang baik dan berwibawa. Namun, jika dasar-dasar yang diberikan oleh pendidikan jelek dan rapuh, besar kemungkinan akan muncul di kemudian hari sebagai pelaku politik yang jelek dan rapuh pula. Imbasnya, lagi-lagi masyarakatlah mejadi korban.
Dengan argumen di atas, generalisasi ini dapat dipahami mengapa perilaku para pelaku politik dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang baik, berbeda dengan perilaku pelaku politik yang berasal dari masyarakat dengan sistem pendidikan yang kurang memadai.
Melalui proses pendidikan, latihan mental, phisik dan moral diberikan kepada anak-anak dengan tujuan membentuk manusia yang berguna, cakap melaksanakan tugas sebagai kewajiban, bijak mengambil keputusan sebagai haknya. Dan masyarakat, bangsa dan negara sangat merindukan anak-anak manusia jenis ini.
Sosok (kontur) pendidikan yang dapat menjadi landasan keharmonisan perpolitikan tergantung bagaimana mendefinisikan kehidupan politik yang ideal. Secara umum landasan yang baik adalah pendidikan yang dalam jargon politik disebut pendidikan manusia seutuhnya. Dalam idiom modern, ini ialah pendidikan yang membimbing anak menjelajah enam wilayah makna (realms of meaning), yaitu simbolika, empirika, estetika, sinnoetika, etika, dan sinoptis. Pendidikan ini, jika diselenggarakan dengan baik, akan menghasilkan anak-anak muda yang mampu berpikir secara sistematik, mengenal dan memahami aneka persoalan empiris yang ada di masyarakatnya, memiliki rasa keindahan, memiliki kepekaan sosial, secara sukarela taat kepada norma-norma, dan mampu berpikir secara reflektif dan integratif.
Pendidikan merupakan wadah pembentukan tabiat, dengan cara menanamkan kebiasaan atau penghayatan yang membawa kepada sifat atau kesadaran tertentu, yaitu dengan menyuruh dan mengarahkan untuk mengerjakan perbuatan tertentu berulang kali, sehingga menjadi kebiasaan. Kebiasaan inilah yang akan membentuk sifat. Dan kebulatan sifat-sifat akan membentuk kepribadian aslinya.
Dengan landasan pendidikan seperti ini, kiranya akan lahir insan-insan politik yang mampu merintis lahirnya budaya politik baru dan perilaku politik yang lebih santun dalam negeri ini. Kurikulum baru tahun 2013 yang telah diluncurkan kemendikbud diharapkan mampu memenuhi standar yang diharapkan dalam muatan ini.
Perjalanan yang harus ditempuh sistem pendidikan kita masih panjang sebelum lahir generasi politik yang lebih cakap, lebih santun dan bertanggung jawab daripada yang kita saksikan sekarang.
Masayarakat yang demokratis adalah masayarakt yang menjunjung tinggi nilai demokrasi, bukan masyarakat fanatik dan anarkis. Semua orang sepakat, faktor pendidikan sangat menentukan kearifan jiwa seseorang dalam bertindak dan menentukan suatu kebijakan. Apalagi ia diamanatkan untuk mewakili rakyat ramai yang asal-muasal pendidikannya bervariatif. “Satu suara menentukan nasib bangsa”. Apakah nasib bangsa akan kita relakan dipilih oleh pemilih murahan yang dibeli oleh politisi murahan pula? (Salwinsah Guru SMAN Titian Teras H. Abdurrahman Sayoeti Jambi).

 

Tinggalkan komentar