RSS

UN Versus Mutu Pendidikan

OLEH SALWINSAH, S.Ag

SEJAK awal UN memang sudah mengundang penolakan berbagai pihak terutama para guru. Menurut mereka, UN harus dikesampingkan sebagai syarat kelulusan seperti dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 72 Ayat (1) poin 4.

Namun Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah menetapkan bahwa tahun ini Ujian Nasional tetap dilakukan. Ada dua alternative kebijakan yang diputuskan pemerintah, pertama UN tetap dilaksanakn dengan menggelar ujian ulang bagi siswa yang tidak lulus, kedua dengan menggunakan ujian ala Ebtanas yang memadukan ujian akhir dengan prestasi selama di bangku sekolah. (JE, 8/1).

Menurut Mendiknas Ujian Nasional bukan satu-satunya syarat kelulusan peserta didik. Ditegaskan bahwa untuk menentukan kelulusan harus memenuhi empat kriteria yakni, pertama menyelesaikan seluruh proses pembelajaran. Kedua lulus berkaitan dengan moral akhlak maupun administrasi. Ketiga lulus Ujian Sekolah dan keempat lulus Ujian Nasional. Tahun ini nilai UN ditetapkan minimal rata-rata 5,5 tapi boleh ada angka 4 dari salah satu mata pelajaran yang di UN-kan, asal rata-rata mencapai 5,5. Pernyataan Mendiknas itu tetap dijawab dengan demo penolakan UN di berbagai daerah. Nampaknya menolak lebih gampang daripada menyiapkan diri dengan baik untuk menempuh UN.

UN sejatinya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jangkar peningkatan mutu pendidikan melalui pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Namun sayangnya di lapangan banyak penyimpangan mulai dari penyimpangan pemahaman konsep tetang hakikat UN hingga hakikat kelulusan yang menghalalkan segala cara. Atas kondisi tersebut itulah yang terjadi UN bukan sebagai jangkar peningkatan mutu pendidikan melaikan justru menjadi sumber keterpurukan.

Bencana ini mulai mengancam hakikat pendidikan nasional mana kala UN diposisikan sebagai penentu kelulusan sehingga sekolah dan guru yang tidak siap dengan kondisi ini terpaksa menempuh jalan pintas dengan drill dalam try out, bekerja sama dengan lembaga bimbingan belajar dan bahkan ada yang sampai membentuk tim sukses dan beberapa kabupaten menolak kehadiran Tim Independen pemantau UN demi menjaga kesuksesan kecurangan yang mereka skenariokan untuk menyiasati UN di daerahnya.

Kini bahkan ketika pemerintah tidak lagi menyatakan bahwa UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan, toh sekolah, guru, siswa dan masyarakat terlanjur menolaknya. Terlepas dari kurang sempurnanya penyelenggaraan UN, jika dicermati lebih lanjut, penolakan itu juga menandakan lemahnya kesiapan sekolah, guru, siswa dan masyarakat untuk menghargai budaya mutu dalam dunia pendidikan. Sekolah yang telah memiliki kesadaran mutu tidak terlalu risau dengan UN karena mereka bisa menghadapi UN dengan sukses namun sekolah kategori ini jumlahnya sangat minim disbanding sekolah yang budaya mutunya masih lemah. Mereka inilah yang gigih menolak.

UN bukanlah hal yang baru. Sejak tahun 1945 – 1971 kita telah melakukan Ujian Negara. Ujian sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Dampaknya kelulusan rendah, banyak kritik masyarakat, tidak ada seleksi ke jenjang yang lebih tinggi, mutu lulusan tinggi. System ini lantas diperbaiki dengan Ujian Sekolah 1971 – 1983. Ujiuan sepenuhnya dilakukan oleh sekolah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Tidak ada batas lulus, dampaknya kelulusan hampir 100 persen, masih diperlukan seleksi lagi ke jenjang lebih tinggi, mutu rendah, banyak kritik masyarakat. System ini akhirnya diperbaiki dengan Ebtanas, 1983 – 2002. (Nugroho, Desember 2009).

Dalam system Ebtanas dikenal kombinasi PQR dimana nilai akhir kelulusan adalah P (nilai semester I) + Q (nilai semester II) + 3R (nilai ebtanas murni). Hasilnya banyak terjadi mark up nilai P dan Q oleh guru atas restu kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan. Semua peserta lulus, anak rajin atau anak malas, anak pandai atau anak bodoh semua lulus.

Pada saat itu benar-benar tidak ada penjamin mutu, bahkan kewibawaan pendidikan di titik nadir, demikian pula kewibawaan seorang guru. Quality control dan quality assurance tidak ada. Efek negatif Ebtanas adalah tidak ada motivasi siswa belajar lebih giat dan prestatif, tidak memotivasi guru untuk mengajar dan mendidik dengan lebih bersungguh-sungguh, tidak menumbuhkan budaya mutu dan tradisi berkompetensi unutuk mencapai keunggulan bangsa, memberikan pendidikan yang semu.

Penolakan UN bukan semata-semata soal landasan yuridis yang salah satu pasalnya menyebut kewenangan meluluskan siswa ada pada guru. Alasan empiris yang kasat mata sejatinya adalah masih lemahnya kesiapan sekolah dan kesiapan guru untuk bekerja lebih bermutu. Artinya standar formance guru memang masih jauh dari mutu yang disyaratkan untuk bisa meluluskan peserta didik dengan standar kelulusan sesuai standar UN.

Maka jika masih ada yang berhasrat menyerahkan kembali standar kelulusan kepada guru, berarti kita merelakan kembali melihat sejarah manipulasi nilai P dan Q oleh para guru di era Ebtanas! Wallahu a’lam bissawab…!

******

 

Tinggalkan komentar