RSS

Kehilangan Filter

Kehilangan Filter
Oleh Salwinsah
win9CHARTERZ (seorang peneliti Barat) bertutur: “Sesungguhnya pembangkitan syahwat dalam penayangan gambar dan visualisasi trik-trik porno, dimana sang pemeran menanamkan rasa senang dan membangkitkan syahwat bagi para penonton dengan cara yang fulgar bagi kalangan anak-anak dan remaja, itu adalah sesuatu yang sangat berbahaya.”
Sebuah penelitianya tersimpul, kumpulan film yang ditayangkan di media umum untuk anak-anak memenuhi kisaran 29,6 persen bertemakan seks, 27,4 persen tentang penanggulangan kejahatan dan 15% berkisar percintaan dalam arti syahwat buka-bukaan. Lainnya menampilkan kekerasan yang menganjurkan balas dendam, memaksa dan brutalisme.
Dengan ramainya lalu lintas tayangan media lewat berbagai jalur itu, generasi sekarang dikeroyok aneka budaya memikat namun mengandung racun mematikan. Masyarakat tidak enggan meniru, mengimplementasikan dalam kehidupan, sehingga praktek pergaulan telah menyimpang dari kodrat kemanusiaan dan ironisnya, ini sudah mengakar.
Praktek adopsi kultur asing, kemudian dipompakan kepada masyarakat baru dengan bermacam cara pula, seperti pemaksaan secara halus, menyeragamkan busana para wanita penjaga toko, super market dan sebagainya, dengan pakaian serba minim, transparan dan menonjolkan aurat, membuat masyarakat sekarang terhanyut dengan balutan kehidupan baru, efek dari tontonan sampai pada praktek paksaan tadi.
Tanggapan masyarakat pun beragam dalam menghadapi kepungan gelombang dahsyat ini. Pertama prihatin, dengan bersuara lantang melarang anak-anak menonton acara televisi tertentu yang tidak diperoleh manfaat darinya. Mereka melarang membuka internet, karena pengaruh negatifnya yang luar biasa. Tapi segala Pekerjaan Rumah (PR) dari sekolah untuk anak hari ini tidak bisa terselesaikan tanpa membuka internet. Mencari tugas semestinya hanya memakai bilangan menit bisa selesai, lalu berjam-jam berhadapan dengan dunia maya ini, mengotak-atik apa? Apakah benar-benar mencari ilmu, tugas sekolah? Atau hanya bersenang-senang menikmati hidangan siap saji? Kekhawatiran memang sudah luar biasa. Orangtua pun dihantui rasa takut dan was-was terhadap anak mereka sendiri.
Kedua, golongan yang biasa-biasa saja. Masyarakat yang awam ini justru menikmati aneka tayangan yang sudah mengandung unsur pengrusakan moral dengan senang hati. Mereka beranggapan, apa yang ditayangkan itu sudah lewat sensor, sudah ada yang bertanggung jawab. Sehingga mereka tidak merasa risih apalagi bersalah. Alhasil jiwa mereka terbentuk menjadi penggemar tayangan siap saji, lalu terbawa dalam kehidupan. Tanpa disadari secara bersama-sama mereka pun mulai menjauh pola kehidupan lamanya.
Ketiga, masyarakat yang benar-benar terbawa arus. Mereka berangan anak-anaknya bisa menjadi pelaku dalam tayangkan itu. Apakah itu hanya jadi penari latar, peran pembantu atau apa saja, yang penting bisa tampil. Syukur-syukur bisa jadi bintang top yang mendapat bayaran mahal. Mereka tidak lagi memikirkan tentang etika. Yang penting adalah hidup senang, banyak uang, serba mewah dan terkenal. Untuk mencapai ke “derajat” itu, mereka berani mengorbankan segala-galanyanya bahkan apa yang paling berharga sekalipun yang melekat pada anaknya, rela ia korbankan.
Golongan pertama berusaha mempertahankan moralitas jika dibanding dengan golongan yang ketiga, berangan anak dan dirinya jadi seperti dalam tayangan, boleh jadi seimbang jumlahnya. Lantas, golongan ketiga, digabung dengan golongan kedua, penikmat tayangan lolos ‘sensor’, maka terkumpullah jumlah mayoritas. Hingga kelompok yang mempertahankan kodrat kemanusiaan justru menjadi minoritas. Inilah bukti nyata, pahit namun harus ditelan.
Ungkapan ini secara wajar tampak hiperbol, tetapi justru itulah kenyataannya. Bahkan bukan hanya nasehat orangtua dan guru yang tak didengar, firman-firman Tuhan pun sudah banyak diabaikan. Sehingga penampilan musisi, bintang film, iklan dan sebagainya lebih disanjung daripada kitab suci.
Tayangan media telah mengakibatkan berubahnya masyarakat secara drastis, dari bertatakrama menjadi masyarakat tak punya filter lagi. Tidak tahu mana yang baik dan mana yang jelek, bahkan dalam prakteknya sering mengutamakan yang jelek daripada yang baik.
Kenapa masyarakat tidak dapat membedakan kebaikan dan keburukan? Karena “guru utama mereka” adalah televisi dan citus internet. Sedang program media ini adalah menampilkan aneka macam yang campur aduk. Ada pembodohan semisal iklan yang sebenarnya bohong, tak sesuai dengan kenyataan, namun ditayangkan terus menerus. Kebohongan ini kemudian dilanjutkan dengan program acara tentang ajaran kebaikan, nasihat atau pengajian agama. Lalu ditayangkan film porno, merusak sendi-sendi kehidupan dan menganjurkan kesadisan. Sehingga para pemirsa, lebih-lebih anak-anak tidak bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Masyarakat umum pun demikian. Hal itu berlangsung setiap waktu, sehingga dalam waktu yang tidak lama, manusia yang tadinya mampu hidup dalam naungan karakternya, berubah menjadi manusia yang berfaham permissive, apa-apa boleh saja.
Munculnya masyarakat permissive itu karena adanya penyingkiran secara sistimatis terhadap aturan yang normal, yaitu larangan mencampur adukkan antara yang haq dan yang batil. Yang ditayangkan adalah jenis pencampur-adukan yang haq dan yang batil secara terus menerus, untuk ditonton khalayak ramai.
Dengan pencampur-adukkan antara yang benar dengan yang salah secara terus menerus, akibatnya mempengaruhi manusia untuk tidak menegakkan yang benar dan menyingkirkan yang batil. Dampaknya tumbuhlah pemahaman yang membolehkan kedua-duanya berjalan sekaligus, tegak dan merajalelanya kebatilan, serta menumbuhkan jiwa yang berpandangan serba boleh. Akhirnya lahir generasi yang tidak bisa lagi membedakan mana yang baik dan buruk. Lantas, kalau sudah tidak mampu membedakan mana yang haq dan batil, mungkinkah karakter akan bisa diraih?
Sungguh, menipisnya jiwa keagamaan, efek larutan budaya asing, inilah bencana terparah yang menimpa generasi penerus dan manusia yang lahir sesudahnya, hasil produk dari proyek besar-besaran, terus menerus diderakan kepada anak-anak dan remaja. Yaitu proyek mencampur-adukkan antara kebaikan dan keburukan lewat aneka tayangan media elektronik dan citus jejaring sosial sebagai hidangan lezat sehari-hari.
Kalaulah fenomena ini dibiarkan berlarut-larut, jangan salahkan kereta akan api melaju pesat meninggalkan penumpangnya. (Penulis Guru SMAN Titian Teras H. Abdurrahman Sayoeti jambi)

 

Tinggalkan komentar