RSS

Pacaran, Bolehkah?

Pacaran, Bolehkah?

Oleh : SALWINSAH,S.Ag

 

ISTILAH pacaran muncul sejak tahun 1970-an sebagai ganti ungkapan tentang muda-mudi yang saling mencintai. Artinya kedua belah pihak ada minat, maksud dan tujuan ke jenjang pernikahan. Jenjang cinta atau berpacaran ini ditempuh dalam rangka saling menjajagi, mencari, menyesuaikan dan menentukan pilihan yang tepat sebagai calon pendamping hidupnya yang sejati. Dalam perspektif agama, khususnya Islam, memang diperbolehkan mengadakan pendekatan, penjajagan, pengenalan dan pendalaman kepada lain jenis yang bukan mukhrim. Ini maksudnya untuk saling mengenal (ta’arruf) baik secara kejiwaan, kedalaman dan pemahaman keagamaan, kecantikan atau kegantengan, pekerjaan, gaji, asal keturunan, begitu pula pelaksanaan syariat masing-masing. Tidak ketinggalan juga tentang penyakit, hobi maupun kesukaan.

Jika misalnya terjadi kecocokan atau siap saling mengisi dan melengkapi di antara keduanya, maka hal itu bisa berlanjut pada pelamaran atau pertunanganan dan paling bagus secepatnya berlangsung pernikahan.

Tetapi melihat, menyaksikan, dan mengamati proses berpacaran anak remaja apa lagi dewasa pada zaman sekarang ini, pengaruh setan alias iblis, emosi dan nafsu sangat dominan mengitari mereka meskipun tidak semuanya. Dalam kenyataan, banyak di anatara muda-mudi yang menerapkan metode ‘durian dan mangga,’  sebelum membeli terlebih dahulu mencium, mencicipi dan merasakannya. Bahkan, ada yang ibarat ‘lemari pakaian,’ membuka dan menutup dengan bebasnya tanpa merasa melanggar norma, berdosa dan menyakiti.

Tragisnya lagi, semua itu dilakukan mengatasnamakan saling cinta. Padahal semua itu bisa mengubur hidup-hidup lawan jenisnya, terutama si gadis atau wanita yang selalu menjadi korban. Institusi pacaran yang semacam itu, dalam agama Islam secara dini sudah diantisipasi sebagai tindakan preventif dengan tidak mendekati zina alias wala tagrabuzzina (QS Al-Isra.: 32), yang didahului oleh perintah bagi laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangannya dan memelihara kehormatannya atau kemaluannya (QS An-Nur: 30-31). Bukan hanya itu. Dalam ajaran agama Islam juga ada larangan bagi wanita untuk memperlihatkan perhiasan dan sekaligus perintah mengulurkan kerudung atau jilbab sampai ke dada.

Hal ini dimaksudkan agar lekuk-lekuk tubuhnya tidak sampai memancing rangsangan seks bagi pemiliki penyakit dalam hatinya. Agama Islam sudah memberi pencegahan seperti itu. Sebab biasanya, sifat orang yang berpacaran tersebut suka berpandangan, berpegangan, berduaan, bersepi-sepian, berangkulan, berpelukan, berciuman, berdempetan, bertindihan dan bahkan tidak menutup kemungkinan melakukan hubungan badan, lepas dari disadari atau tidak (na’uziballah). Karena bujukan dan rengekan kedua makhluk berbeda jenis ini, di antara elektron positif dan negatif terkadang terjadi korsleting kelas ringan sampai kelas tinggi.

Dan kalau sudah terjadi demikian, bagi pihak korban maupun yang mengorbankan, hanya ada lima hal saja yang akan terjadi, Pertama, terpaksa dinikahkan sebagai cara penyelesaiannya. Kedua, si gadis sebagai pihak yang dikorbankan akan menuntut di meja hijau. Ketiga, kalau kedua hal di atas tidak tercapai, pihak wanita akan didera tekanan batin, yang salah satunya dapat terjadi bunuh diri atau terlibat amoralitas yang lebih parah. Keempat, pihak perempuan mengambil tindakan pintas dengan cara menghabisi pihak lelaki karena dianggap syiri berdasarkan kehormatan dalam keluarganya. Kelima, menggunakan dukun sebagai pihak ketiga untuk menghukum pihak laki-laki yang dianggap tidak mengerti agama, hukum dan adat istiadat.

Yang penting dicatat, tidak semua orang yang berpacaran berhasil sampai ke jenjang pernikahan. Banyak yang putus di tengah jalan, entah karena berkhianat, mencari ganti orang lain, atau mungkin pihak orangtua salah satu atau kedua-duanya tidak setuju, bisa juga karena sudah dijodohkan, bahkan salah satunya mungkin ada yang meninggal dunia. Padahal sudah terjadi saling mencicipi.

Maka dalam konteks seperti inilah, Islam sudah mewanti-wanti semua itu agar kita menjaga harkat dan martabat manusia sebagai makhluk termulia dan tersempurna, tentu sebagai khalifah (pemakmur bumi), bukan as fala safilin (sehina-hina dan serendah-rendah ciptaan-Nya). Agama Islam telah memberikan petunjuk proses bercintaan, sekali lagi bukan berpacaran, seperti disinggung di atas, agar manusia terjaga dan terhindar dari dampak dan kerugian yang sewaktu-waktu menimpanya tanpa disadari secara langsung.

Kalau sekadar memandang saja sudah ada larangan, apalagi melakukannya. Dengan mengacu prinsip itu, maka pacaran model sekarang bisa dikatakan sebagai bentuk budaya non-religius, amoralitas dan sangat rentan perzinahan, baik tersembunyi maupun terang-terangan dengan selimut modernisasi dan hak asasi. Karena itu, walaupun istilah pacaran kini lagi ngetrend di kalangan muda-mudi dengan segala nikmat dan resikonya, dengan dalih menikmati masa muda, tetapi kiranya masih lebih baik dan indah jika kultur berpacaran selalu diwaspadai. Semoga!

 

1 responses to “Pacaran, Bolehkah?

  1. mahyaruddin

    7 Maret 2013 at 3:05 pm

    that’s really good for the teenagers because PACARAN is really not use mendingan nikah aja

     

Tinggalkan komentar