RSS

Paradigma Kecerdasan dalam Pendidikan

Paradigma Kecerdasan dalam Pendidikan

Setiap awal tahun pelajaran baru, sudah lazim kita lihat para siswa berebut untuk memasuki sekolahan-sekolahan favorit, atau sekolahan negeri dan unggulan. Tapi anehnya, siswa yang berhasil melenggang ke sekolah favorit itu hanya ditentukan dengan banyaknya kebenaran mengerjakan soal-soal yang telah diberikan sekolahan dan juga terdapat ketentuan target minimal danem. Ironis lagi mereka yang masuk dengan tanpa tes yang mengandalkan surat sakti untuk membeli satu kursi.

Si Haji Fulan pernah bercerita kepada penulis, tentang anaknya yang hendak memasuki pendidikan tingkat sarjana di Fakultas kedokteran. Si Bapak yang juragan batik itu sangat antusias dan mendukung cita-cita anak. Ia melegakan uang, tenaga, fikiran untuk melancarkan jalan masuk anak menuju Universitas Swasta di Yogyakarta. “saya telah menghabiskan uang sekitar sepuluh juta, untuk riwa-riwi” kata dia demi anaknya bisa masuk di fakultas kedokteran.

Bayangannya juga sudah melambung tinggi membayangkan anaknya menjadi Bu Dokter yang tentu bisa membantu sesama yang sakit menuju kesehatan jasmani. “anakku juga kategori anak yang pintar, karena ia rangking dua di sekolah negeri unggulan di Pekalongan.” Sambungnya dengan bangga. Padahal menurutnya sekolah negeri itu siswanya rata-rata pintar, berarti putrinya ini anak pintar yang di atas anak-anak pintar.

Sayang, ketika hendak masuk perguruan tinggi tak hanya bisa mengandalkan nilai tes semata. Cerita sang Bapak bahwa dirinya sempat ditemui oleh beberapa orang yang diduga dari perguruan terkait. Mereka menawarkan kursi bagi anaknya dengan harga yang bervariasi rata-rata mencapai ratusan juta. Si Bapak mengaku sempat tergoda juga, tetapi anaknya ternyata tetap pada prinsip, bahwa bangku mahasiswa tak usah dibeli, itu sama juga ikut menyirami lahan subur suap menyuap.

Di beberapa sekolahan favorit juga memberikan peluang pendaftaran kepada semua siswa yang berkehendak masuk, sampai terkadang mencapai ribuan calon siswa. Semakin banyak siswa yang mendaftar, semakin cepat kaya saja sekolahan itu. Bila pendaftaran dipatok ongkos berkisar 50 ribu, maka itu sebagai uang cuma-cuma yang didapat sekolahan dari beberapa ratus siswa yang gagal untuk masuk sekolahan favorit. Kalo orang suka mengklaim mungkin praktek semacam itu akan diberi label: kapitalisasi pendidikan, atau pendidikan diselenggarakan untuk mencapai tujuan mendapatkan keuntungan uang sebanyak-banyaknnya. Maka tak heran kalau ada ungkapan: “kalau sekolahan kita mau maju, maka harus sekalian menjadi sekolahan favorit, sehingga setiap tahun ajaran baru akan kebanjiran calon siswa.”

Di masyarakat beredar istilah sekolahan favorit, dan tentunya antagonis sekolahan favorit adalah sekolahan buangan. Pelabelan tersebut berbuntut pada pelabelan lainnya. Mungkin seorang ibu dalam acara arisan perumahan akan bangga menyebut, “anakku diterima di SMA N 01 lho…memang dia selalu belajar siang malam. Dia anak cerdas.” Akan muncul persepsi bahwa anak yang masuk sekolahan yang dikatakan favorit cenderung cerdas, sedangkan mereka yang sekolah di sekolahan buangan, walaupun cerdas tetapi masih saja tetap di bawah rata-rata murid sekolahan favorit. Muncul persepsi masal: “secerdas-cerdasnya siswa sekolah buangan, masih setara dengan sebodoh-bodohnya siswa sekolahan favorit.”

Klaim pintar dan bodoh juga sangat tidak bisa diterima sebagai wacana sosial di masyarakat, karena Allah menciptakan manusia itu mempunyai kelebihannya masing-masing (ba’dluhum fauqa ba’dhin). Jadi semua manusia mempunyai kelebihan kecerdasan, yang tentunya akan menafikan keabsahan klaim Pintar-Bodoh.

Kecerdasan itu kelihaian, kemahiran, seseorang dalam memberikan solusi terhadap masalah dalam momentum yang tepat. Ketika di tengah jalan mobil anda mogok, maka anda akan memilih minta tolong kepada siapa: apakah Profesor Nuklir, atau seorang montir mobil yang lulusan SMP itu. Saat anda tersesat di Bali dan kebetulan anda menemukan new comer dari luar negeri yang dikenal juga sebagai ilmuwan dunia, pada waktu itu anda juga mendapati warga bali seusia anak SD, kira-kira kepada siapa anda minta tolong untuk menunjukkan arah? Dan diantara keduanya dalam momentum yang dibutuhkan saat itu, kira-kira siapa yang paling dibutuhkan? Ada ungkapan semakin anda cerdas, semakin anda dibutuhkan dan bermanfaat. Maka kalimat lain dari dawuh kanjeng Nabi “sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya.”  Adalah “sebaik-baiknya manusia adalah yang cerdas.” Dalam pengertian di atas.

Bahkan Allah yang telah memberikan kelemahan manusia yang berkebutuhan khusus (cacat) pun, pasti Dia akan memberikan kelebihannya sendiri. Kita bisa melihat beberapa orang sukses karena kecerdasannya, walaupun sejak kecil mereka tidak maksimal semua inderanya, atau biasa disebut sebagai cacat.

Prof. Muhammad Yaqoub, dosen Islamic Studies di berbagai Universitas di Amerika, juga dosen tamu di berbagai negara, tercatat sebagai orang yang buta sejak lahir, tetapi ia dipercaya sebagai corong umat Islam di beberapa even internasional. Hellen Keller, peraih Honorary University Degrees Women’s Hall of Fame, The Presiden Medal of Freedom, The Lion Humanitarian Award, bahkan kisah hidupnya meraih dua piala Oscar adalah seorang anak manusia yang sejak lahir sudah dikaruniai kenikmatan bisu, tuli, dan buta.

Klaim pintar dan bodoh, atau cerdas dan tolol itu sangat bertentangan dengan sifat kasih sayang Allah yang telah mengaruniai manusia beberapa kecerdasan majmuk. Klaim pintar dan bodoh terhadap siswa, berangkat dari anggapan bahwa cerdas itu adalah mereka yang bisa mengerjakan soal-soal, sehingga mempunyai angka nilai di atas tujuh. Anggapan itu lebih sempit dari paradigma kecerdasan kognisi (pengetahuan). Padahal anggapan kecerdasan hanya diukur dari kecerdasan kognisi bisa dikatakan reduktif terhadap karunia kecerdasan ganda yang diberikan Allah itu.

Menurut Howard Gadner bahwa setiap manusia dikaruniai Allah dengan banyak kecerdasan: kecerdasan kognisi, kecerdasan logis matematis, kecerdasan musik, kecerdasan naturalis, kecerdasan kinestetik, kecerdasan spasial, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, kecerdasan linguistik, dan masih banyak kecerdasan lainya. Misalnya bisa kita contohkan dalam pernyataan berikut ini:

Si Agus kurang pintar menghitung dalam pelajaran matematika, tetapi mendadak semua temannya tercengang melihat keelokan lukisan Agus yang tak bisa dilakukan oleh satupun siswa (kecerdasan spasial). Sebaliknya Si Raga tak bisa melukis, memainkan musik, dan lemah dalam pelajaran eksakta, tetapi ia menjuarai karate tingkat Nasional (kecerdasan kinestetik). Si Aris yang bisu tak begitu pandai bergaul itu ternyata puisi-puisinya sering menghiasi halaman koran dan majalah (kecerdasan linguistik), Si lukman teman sekelasku itu seringkali ditunjuk oleh teman-temannya untuk menjadi ketua dalam berbagai organisasi kampus, karena dia dinilai supel dan pandai mempengaruhi orang (kecerdasan intrapersonal).

Dari pernyataan di atas akan muncul pertanyaan yang bisa anda jawab: di lapangan sepak bola? Siapakah yang paling cerdas, Albert Einstein atau Diego Maradona? Di hadapan bentangan kanvas siapakah yang paling cerdas Antara Bill Gates dengan Afandi. Di hadapan orang banyak, siapakah yang paling cerdas antara Cak Nun dengan Prof. Yohanes?

Dari berbagai macam kelebihan manusia semacam itu, maka tak cocok lagi klaim bodoh kepada anak yang hanya tak bisa mengerjakan soal-soal matematika dan eksakta. Kelebihan manusia yang bermacam-macam itu mengindikasikan bahwa, seseorang tak bisa dikatakan cerdas karena hanya bisa benar banyak dalam menyelesaikan tes dalam Ujian Nasional, Tes Masuk sekolahan. Maka klaim sekolahan favorit yang hanya mengandalkan input siswa adalah cacat. Karena pada dasarnya, kecerdasan manusia bersifat majmuk. Sedangkan tes sekolahan cenderung hanya membela kecerdasan kognisi semata.

Konstruk kecerdasan ala kognisi membuat sistem pendidikan tak manusiawi. Setiap lembaga pendidikan mempunyai tujuan riil: Membentuk siswa yang mampu mengerjakan soal Tri Out, Semester, Tes Ujian Masuk, Ujian Akhir Negara, dengan harapan dan kepastian dapat meraih Angka diatas tujuh. -Saya sengaja menyebutnya angka, bukan nilai-. Tetapi mempunyai tujuan ideal: Membentuk siswa berakhlakul karimah, mempunyai ilmu pengetahuan yang luas yang dilandasi iman dan takwa. Itu sama juga dengan para ilmuwan politik yang berteori bahwa pada masa orde baru negara kita itu berbentuk republik, padahal nyata-nyata negara kita adalah kerajaan Orde Baru.

Dalam pendidikan sekarang ini memposisikan manusia yang ahsani taqwim di bawah makhluk yang bernama: UAN, angka. Karena manusia dikejar untuk memburu angka. Mempertahankan angka. Diperbudak siang malam untuk memikirkan makhluk berhala bernama UAN. Itu sama juga dengan saat kita bekerja keras untuk memburu makhluk bernama uang. Padahal seharusnya siapa yang diburu dan siapa yang memburu. Kita dengan makhluk bernama angka dan uang itu posisinya mulia mana? Kok sampai-sampai kita mengorbankan apa saja untuk mencarinya dan meraihnya? Aneh.

Allah yang ar-rahman dan ar-rahim mustahil mendesain takdir makhluknya dengan keburukan dan kebodohan. Kasih sayang Tuhan mewujud dalam penciptaan semua manusia mempunyai kelebihan dan kecerdasan, tetapi manusia sering membatasi arti kecerdasan, sehingga ia berhenti pada pengertian kecerdasan kognisi semata. Karena sempitnya masyarakat mendefinisikan kecerdasan pada kecerdasan kognisi saja, maka orang yang tak mampu menyelam di kedalaman kecerdasan kognisi akan di beri bandrol anak bodoh, tolol, goblok.

Ada satu fabel yang menarik. Suatu hari di belantara hutan diadakan lomba berenang, terbang, menggali, memanjat, berlari. Semua penduduk hutan diwajibkan mengikuti setiap macam lomba itu. Pada lomba renang si elang sempat misuh-misuh, beberapa kali dia hampir kehilangan nafas karena tenggelam, tetapi pada lomba terbang dirinya tak pernah bisa dikalahkan. Pada sesi lomba menggali si katak hanya bisa menggerutu karena usahanya sia-sia belaka, sebaliknya si kelinci tertawa bahkan sempat mengajari si katak untuk menggali. Si katak bisa tertawa bangga saat dirinya bisa mengalahkan teman-temannya pada sesi lomba berenang, walau ia tak juara, karena kalah dengan ikan-ikan. Dalam setiap sesi lomba yang sudah dijalani monyet cuma bisa garuk-garuk kepala, tetapi saat lomba memanjat pohon di start, Monyet sudah sampai ujung atas pohon, sementara teman-temannya masih kelingsutan berebut naik di akar pohon.

Fabel tersebut menggambarkan bahwa bakat, potensi, kecerdasan makhluk, terutama manusia sangat bermacam-macam, dan berbeda-beda. Maka menghargai setiap kecerdasan adalah keniscayaan bagi manusia. Dan kesalahan yang seringkali kita perbuat adalah menyuruh elang untuk berenang, dengan cepat lagi.  Usaha yang harus selalu dilakukan orang tua dan guru adalah mengenali bakat, kecerdasan, potensi, peluang, anak atau siswa, kemudian membantu, memotivasi, dan memfasilitasi untuk perkembangan mencapai titik kesuksesan karena keotentikan kecerdasan dan bakat.

Selama ini yang bisa kita ketahui secara awam, bahwa sekolahan favorit itu mengandalkan pada input siswa. Siswa yang diterima disekolahan favorit harus bernilai di atas rata-rata, dan harus lulus dalam tes ujian masuk. Siswa diklaim sebagai murid cerdas, kalau mereka bisa menghiasi diri dengan keduanya. Kecerdasan yang hanya dibatasi oleh tes-tes formal semacam ini sangatlah sempit dalam mengartikan kecerdasan.

Sekolahan favorit yang membatasi siswa dengan seleksi tes itu bisa diibaratkan sebagai kebun, bukan hutan. Karena ia membatasi diri dihuni oleh penduduk, mentok, bebek, banyak, ayam, tentunya menolak macan, monyet, jerapah, gajah, gorila, anjing. Sekolahan hanya menerima jenis manusia yang menonjol kecerdasan kognisinya, tetapi sebenarnya ia kehilangan siswa-siswa yang berkecerdasannya variatif. Anehnya ada yang menganggap kebunnya sebagai hutan.

Sekolahan favorit seharusnya seperti hutan, ia tidak khawatir siapa yang akan singgah di dalamnya. Ia tidak pilih-pilih terhadap tetumbuhan dan hewan yang bermaksud hidup di dalamnya. Sekolahan favorit seharusnya tidak menyaring hanya siswa yang berdanem tinggi, dan siswa yang mahir mengerjakan soal ujian masuk saja yang bisa menghuni. Ia harus menerima siswa berdasarkan alokasi kursi yang ada. Semua siswa yang mendaftar diterima masuk, asal masih tersedia kursi untuknya. Justru letak kefavoritan sekolah itu ketika ia berkedudukan sebagai lembaga pengolah berbagai macam kecerdasan (kawah condrodimuko), berbagai macam kenakalan, dan sebagai agen perubahan bagi murid yang terlanjur di klaim sebagai anak nakal dan bodoh.

Maka diusulkan oleh Khatib, penggagas pendidikan berbasis Multiple Intelligent, untuk mengadakan tes pencarian kecerdasan sebagai landasan dan paradigma dasar metode pendekatan belajar terhadap masing-masing siswa, untuk menggantikan tes seleksi calon siswa. Wallahu Alaam

 

Tinggalkan komentar