RSS

Pendekatan Filosofis dalam Mencapai Kebenaran

PENDEKATAN FILOSOFIS
YANG DIPAKAI DALAM MENCAPAI KEBENARAN

A. Pendahuluan
Kebenaran adalah satu nilai utama dalam kehidupan manusia, sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran.
Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan di samping melalui indra, diolah pula dengan rasio.
3. Tingkat filosofis, rasio dan piker murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.1

___________________________
1. Sumantri Surya, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), hal. 85

Kodrat manusia selalu mencari kebenaran, jika ia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang kebenaran, tanpa melaksankan konflik kebenaran, manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya yang mana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Pendekatan-pendekatan filosofis yang senantiasa digunakan dalam mencapai kebenaran itu antara lain menggunakan metode-metode positivisme, fenomenoligi, realisme dan hermeneutik.

B. Positivisme
Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisika. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris. Sesungguhnya aliran ini menolak adanya spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan.
Positivisme tampil sebagai jawaban terhadap ketidak-mampuan filsafat spekulatif (misalnya, idealisme Jerman klasik) untuk memecahkan masalah filosofis yang muncul sebagai suatu akibat dari perkembangna ilmu. Kaum positivis menolak spekulasi teoritis sebagai suatu sarana untuk memperoleh pengetahuan. Positivisme menyatakan salah dan tidak bemakna semua masalah, konsep dan proposisi dari filsafat tradisional tentang ada, substansi, sebab dan sebgainya, yang tidak dapat dipecahkan atau diverifikasi oleh pengalaman yang berkaiatan dengan suatau tingkat yang tinggi dari alam abstrak. Ia menyatakan dirinya sebagai suatu filsafat non metafisik, yang sama sekali baru, dibentuk berdasrkan ilmu-ilmu empiris dan menyediakan metodelogi bagi ilmu-ilmu tersebut. 2
Positivisme merupakan empirisme, yang dalam segi-segi tertentu sampai kepada kesimpulan logis ekstrim karena pengetahuan apa saja merupakan pengetahuan empiris dalam satu atau lain bentuk, maka tidak ada spekulasi dapat menjadi pengetahuan. Terdapat tiga tahap dalam perkembangan positivisme, yaitu:
1. Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada sosiologi, walaupun perhatiannya juga diberikan pada teori pengetahuan yang diungkapkan oleh Comte dan tentang Logika yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
2. Munculnya tahap kedua dalam positivisme – empirio-positivisme – berawal pada tahun 1870-1890-an dan berpautan dengan Mach dan Avenarius. Keduanya meninggalkan pengetahuan formal tentang obyek-obyek nyata obyektif, yang merupakan suatu ciri positivisme awal. Dalam Machisme, masalah-masalah pengenalan ditafsirkan dari sudut pandang psikologisme ekstrim, yang bergabung dengan subyektivisme.
3. Perkembangan positivisme tahap terakhir berkaitan dengan lingkaran Wina dengan tokoh-tokohnya O.Neurath, Carnap, Schlick, Frank, dan lain-lain. Serta kelompok yang turut berpengaruh pada perkembangan tahap ketiga ini adalah Masyarakat Filsafat Ilmiah Berlin. Kedua kelompok ini menggabungkan sejumlah aliran seperti atomisme logis, positivisme logis,
_________________________
2. Asmoro Achmadi, Filsafat Umum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997) hal. 135
serta semantika. Pokok bahasan positivisme tahap ketiga ini diantaranya tentang bahasa, logika simbolis, struktur penyelidikan ilmiah dan lain-lain. 3
Beberapa teori telah dilahirkan untuk mencoba mendekati arti dari kebenaran yang dimaksud. Beberapa teori itu adalah:
1. Teori Korespondensi
“Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya atau faktanya” (L.O.Kattsoff)
Berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran atau keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila di antara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran atau keadaan benar.
2. Teori Konsistensi
“Kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri ” (A.C.awing, The Fundamental Question of Philosophy).
Teori konsistensi melepaskan hubungan antara putusan dengan fakta dan realitas, tetapi mencari kaitan antara satu putusan dengan putusan yang lainnya, yang telah ada lebih dulu dan diakui kebenarannya. Kebenaran menurut teori konsistensi bukan dibuktikan dengan fakta atau realitas, tetapi dengan membandingkannya dengan putusan yang telah ada sebelumnya dan dianggap benar.
Bila sebuah putusan mengatakan bahwa Syafi’i adalah ayah Azis, dan putusan kedua mengatakan bahwa Azis memiliki anak bernama Fajri, maka sebuah putusan baru yang mengatakan Fajri adalah cucu Syafi’i dapat dikatakan benar, dan putusan tersebut adalah sebuah kebenaran.
________________________
3. http://staff.blog.ui.ac.id (diakses 3 Juni 2011)

3. Teori Pragmatis
“Suatu preposisi adalah benar sepanjang preposisi tersebut berlaku (works), atau memuaskan (satisfied); berlaku dan memuaskannya itu diuraikan dengan berbagai ragam oleh para penganut teori tersebut” (Charles S. Baylin).
Menurut teori pragmatis, “kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Artinya, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.” 4
Kebenaran menurut pandangan positivisme menyatakan bahwa sebuah pernyataan dapat disebut sebagai bermakna jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara empiris. Konsekuensi dari pendapat ini adalah, semua bentuk diskursus yang tidak dapat dibuktikan secara empiris, termasuk di antaranya adalah etika dan masalah keindahan, tidak memiliki makna apa-apa, sehingga tergolong ke dalam bidang metafisika. 5
Dalam filsafat, positivisme sangatlah dekat dengan empirisme, yakni paham yang berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi. Artinya, manusia tidak bisa mengetahui sesuatu apapun, jika ia tidak mengalaminya terlebih dahulu secara inderawi. Yang menjadi ciri khas dari positivisme adalah, peran penting metodologi di dalam mencapai pengetahuan. dilihat dari dalam.

_________________________
4. Bertens, K, Ringkasan Sejarah Filsafat. (Jakarta: Yayasan Krisius, 1978), hal. 93
5. http://www.scribd.com (diakses pada 4 Juni 2011)

C. Konvensionalisme (Fenomenologi)
Fenomenologi secara umum dapat diartikan sebagai kajian terhadap fenomena atau apa-apa yang nampak. Lorens Bagus memberikan dua pengertian terhadap fenomenologi. Dalam arti luas, fenomenologi berarti ilmu tentang gejala-gejala atau apa saja yang tampak. Dalam arti sempit, ilmu tentang gejala-gejala yang menampakkan diri pada kesadaran manusia.
Fenomenologi merupakan metode dan filsafat. Sebagai metode, fenomenologi membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana fenomen-fenomen itu sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Sesorang harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”. Untuk mencapai bidang kesadaran murni, harus membebaskan diri dari pengalaman serta gambaran kehidupan sehari-hari. Sebagai filsafat, fenomenologi menurut Husserl memberi pengetahuan yang perlu dan esensial mengenai apa yang ada. Dengan demikian fenomenologi dapat dijelaskan sebagai metode kembali ke benda itu sendiri (Zu den Sachen Selbt), dan ini disebabkan benda itu sendiri merupkan objek kesadaran langsung dalam bentuk yang murni. 6
Secara umum pandangan fenomenologi bisa dilihat pada dua posisi. Pertama ia merupakan reaksi terhadap dominasi positivisme, dan kedua, ia sebenarnya sebagai kritik terhadap pemikiran kritisisme Immanuel Kant, terutama konsepnya tentang fenomena – noumena. Kant menggunakan kata fenomena untuk menunjukkan penampakkan sesuatu dalam kesadaran,
________________________
6. Bernard Delgaauw terj, Filsafat Abad 20, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hal 240

sedangkan noumena adalah realitas (das Ding an Sich) yang berada di luar kesadaran pengamat. Menurut Kant, manusia hanya dapat mengenal fenomena-fenomena yang nampak dalam kesadaran, bukan noumena yaitu realitas di luar yang manusia kenal.
Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran manusia dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya, tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya. Berbeda dengan Kant, Husserl menyatakan bahwa apa yang disebut fenomena adalah realitas itu sendiri yang nampak setelah kesadaran kita cair dengan realitas. Fenomenologi Husserl justru bertujuan mencari yang esensial atau eidos (esensi) dari apa yang disebut fenomena dengan cara membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan prasangka (presupposition).
Sebagai reaksi terhadap positivisme, filsafat fenomenologi berbeda dalam memandang objek, bila dibandingkan dengan filsafat positivisme, baik secara ontologis, epistemologis, maupun axiologis. Dalam tataran ontologism, yang berbicara tentang objek garapan ilmu, filsafat positivisme memandang realitas dapat dipecah-pecah menjadi bagian yang berdiri sendiri, dan dapat dipelajari terpisah dari objek lain, serta dapat dikontrol. Sebaliknya, filsafat fenomenologi memandang objek sebagai kebulatan dalam konteks natural, sehingga menuntut pendekatan yang holistik, bukan pendekatan partial. 7
Dalam tataran epistemologis, filsafat positivisme menuntut perencanaan penilitian yang rinci, konkrit dan terukur dari semua variabel yang akan diteliti berdasarkan kerangka teoritik yang spesifik. Tata cara penelitian yang cermat ini kemudian dikenal dengan penelitian kuantitatif.
¬¬¬________________________
7. http://makmum-anshory.blogspot.com (diakases pada 3 Juni 2011)
Teori yang dibangun adalah teori nomothetik, yaitu berdasarkan pada generalisasi atau dalil-dalil yang berlaku umum. Sebaliknya, filsafat fenomenologi menuntut pemaknaan dibalik realitas, sehingga perlu keterlibatan subjek dengan objek, dan subjek bertindak sebagai instrumen untuk mengungkap makna di balik suatu realitas menurut pengakuan, pendapat, perasaan dan kemauan dari objeknya. Tatacara penelitian seperti ini kemudian dikenal dengan penelitian kualitatif. Teori yang dibangun adalah teori ideografik, yaitu upaya memberikan deskripsi kultural, human atau individual secara khusus, artinya hanya berlaku pada kasus yang diteliti. 8
Pada tataran axiologis, filsafat positivisme memandang kebenaran ilmu itu terbatas pada kebenaran empiric sensual – logik dan bebas nilai. Sebaliknya, filsafat fenomenologi mengakui kebenaran ilmu secara lebih luas, yaitu mengakui kebenaran empirik sensual, kebenaran logik, kebenaran etik dan kebenaran transcendental. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan yang diperoleh tidak bebas nilai (value free), akan tetapi bermuatan nilai (value bond), tergantung pada aliran etik yang dianutnya, apakah naturalisme, hedonisme, utilitarianisme, idealisme, vitalisme, ataukah theologisme atau pandangan filsafat yang lain.
D. Realisme
Ada tiga ajaran pokok dari Plato yaitu tentang idea, jiwa dan proses mengenal. Menurut Plato realitas terbagi menjadi dua yaitu contoh (paradigma) bagi benda konkret. Pembagian dunia ini pada inderawi yang selalu berubah dan dunia idea yang tidak pernah berubah. Idea merupakan sesuatu yang obyektif, tidak diciptakan oleh pikiran dan justru sebaliknya
_________________________
8. Bernard Delgaauw terj, Filsafat Abad 20, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000), hal 241

memberikam dua pengenalan. Pertama pengenalan tentang idea; inilah pengenalan yang sebenarnya. Pengenalan yang dapat dicapai oleh rasio ini disebut episteme (pengetahuan) dan bersifat, teguh, jelas, dan tidak berubah. Dengan demikian Plato menolak relatifisme kaum sofis. Kedua, pengenalan tentang benda-benda disebut doxa (pendapat), dan bersifat tidak tetap dan tidak pasti; pengenalan ini dapat dicapai dengan panca indera. Dengan dua dunianya ini juga Plato bisa mendamaikan persoalan besar filsafat pra-socratik yaitu pandangan panta rhei-nya Herakleitos dan pandangan yang ada-ada-nya Parmenides. Keduanya benar, dunia inderawi memang selalu berubah sedangkan dunia idea tidak pernah berubah dan abadi. Memang jiwa Plato berpendapat bahwa jika itu baka, lantaran terdapat kesamaan antara jiwa dan idea. Lebih lanjut dikatakan bahwa jiwa sudah ada sebelum hidup di bumi.
Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami pra eksistensi dimana ia memandang idea-idea. Berdasarkan pandangannya ini, Plato lebih lanjut berteori bahwa pengenalan pada dasarnya tidak lain adalah pengingatan (anamnenis) terhadap idea-idea yang telah dilihat pada waktu pra-eksistansi. Ajaran Plato tentang jiwa manusia ini bisa disebut penjara. Plato juga mengatakan, sebagaimana manusia, jagat raya juga memiliki jiwa dan jiwa dunia diciptakan sebelum jiwa-jiwa manusia. Plato juga membuat uraian tentang negara. Tetapi jasanya terbesar adalah usahanya membuka sekolah yang bertujuan ilmiah. Sekolahnya diberi nama “Akademia” yang paling didedikasikan kepada pahlawan yang bernama. 9
Realitas adalah hakekat kesemestaan, termasuk makhluk hidup dan manusia yang merupakan perpaduan ide dan materi yang dibahas dalam
__________________________
9. http://pokjawasdepagblora.wordpress.com (diakses pada 4 Juni 2011)
aliran filsafat realisme yang menggambarkan bahwa ajaran materialis dan idealisme yang bertentangn itu, tidak sesuai dengan kenyataan. Sesungguhnya, realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukanlah benda (materi) semata-mata. Realitas adalah perpaduan benda (materi dan jasmaniah) dengan yang non-materi ( spiritual, jiwa dan rohani).
E. Hermeneutik
Hermeneutika adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra. Hermeneutik baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu teologis sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter hermeneutis dari pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat (atau harus bersifat) “hermeneutis.” 10
Sesungguhnya istilah hermeneutika ini bukanlah sebuah kata baku, baik dalam filsafat maupun penelitian sastra; dan bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini sering muncul dalam makna yang sempit yang berbeda dengan penggunaan secara luas dalam “Hermeneutika Baru” teologis kontemporer.
Hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika.
___________________________
10. Richard E. Palmer, terj. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 3
Para filosof hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala sesuatu yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika orang mampu membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka ia dapat membedakan dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika. Dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang berdampingan.
Hermeneutika (Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca. 11
Akar kata hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein (menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi). Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan). Kata Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia biasanya dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia
________________________
11. Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), hal. 126-127

manusia.12 Kurang lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode hermeneutika.
Sebagai turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks.
Persoalan utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika kritis. Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap

________________________
12. Richard E. Palmer, terj. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hal. 15

kepentingan di balik teks. hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutiknya.13
F. Kesimpulan
Dari penjelasan makalah ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Positivisme menyatakan bahwa ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisika. Tidak mengenal adanya spekulasi, semua didasarkan pada data empiris.
2. Fenomenologi merupakan metode yang membentangkan langkah-langkah yang harus diambil sehingga sampai pada fenomena yang murni. Fenomenologi mempelajari dan melukiskan ciri-ciri intrinsik fenomen-fenomen sebagaimana ia sendiri menyingkapkan diri kepada kesadaran. Sesorang harus bertolak dari subjek (manusia) serta kesadarannya dan berupaya untuk kembali kepada “kesadaran murni”.
3. Realisme menggambarkan bahwa ajaran materialis dan idealisme, tidak sesuai dengan kenyataan. Sesungguhnya, realitas kesemestaan, terutama kehidupan bukanlah benda (materi) semata-mata. Realitas adalah perpaduan benda (materi dan jasmaniah) dengan yang non-materi.
4. Hermeneutika selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks. Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Kenyataannya, hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika.
_______________________
13. http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika (diakses 5 Juni 2011)

DAFTAR PUSTAKA

– Achmadi, Asmoro, Drs., Filsafat Umum, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet. II, 1997
– Delgaauw, Bernard, Filsafat Abad 20, terj. Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001
– E. Palmer, Richard, terj. Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005
– Hidayat, Komaruddin Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik, Jakarta: Paramadina, 1996
– Surya, Sumatri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994
http://id.wikipedia.org/wiki/Hermeneutika (diakses 5 Juni 2011)
http://makmum-anshory.blogspot.com (diakases pada 3 Juni 2011)
http://pokjawasdepagblora.wordpress.com (diakses pada 4 Juni 2011)
http://staff.blog.ui.ac.id (diakses 3 Juni 2011)
http://www.scribd.com (diakses pada 4 Juni 2011)

 

Tinggalkan komentar