RSS

Haji, Qurban dan Nilai Pengorbanan

Haji, Qurban dan Nilai Pengorbanan
Oleh Salwinsah
win5MUSIM haji telah tiba. Dengan rasa iman yang mendalam kaum muslimin seantero dunia berbondong-bondong menuju Mekah dan Madinah, kota sentral tempat tahapan pelaksanaan ibadah haji dijalankan. Bahkan daya tampung kota suci ini tidak mampu melayani tamu-tamu Allah SWT, karena kadar keimanan untuk menunaikan haji setiap tahun selalu meningkat signifikan.
Perjuangan melawan kesabaran untuk mampu mengikuti perjalanan haji yang beruntun dan melelahkan, memperlihatkan kekuatan iman ketika ia harus menjawab realitas kehidupan, menjawab ketepatan waktu dengan penantian yang lama. Butuh pengorbanan.
Sisi lain dari rangkain haji yang dilaksanakan, sepadankankah dengan pengorbanan seorang Ibrahim ketika dalam kesedihan, keresahan dan kegelisahan, lantaran usianya yang telah senja belum dikaruniai seorang anak sebagai pewaris dan melanjutkan cita-cita perjuanganya. Meskipun demikian ia tidak kenal putus asa, bahkan selalu berdo’a, “Ya Tuhanku karuniakan kepadaku seorang anak yang shaleh.” (As-Shafat: 10).
Sejarah mengungkap sebuah misteri yang luar biasa. Allah SWT akhirnya mewujudkan do’a Ibrahim. Melalui Siti Hajar, istri keduanya, dikaruniai seorang putra bernama Ismail. Tetapi belum meranjak dewasa, keimanan Ibrahim kembali diuji Allah SWT. Melalui mimpi ia diperintahkan untuk menyembelih putra semata wayangnya. Terlintas dalam pikirannya, Ismail yang diharapkankan sebagai estafet perjuangannya, harus berakhir di ujung pedangnya sendiri. Suatu keputusan yang padat energi untuk berkorban.
Saat seperti inilah iman dan ketulusan dipertaruhkankan dengan realitas pilihan antara hati dan akal, antara cinta kepada Allah SWT dengan cinta si buah hati. Ibrahim sempat mengalami kebimbangan antara cinta dan kebenaran. Dan akhirnya beliau memenangkan kebenaran serta cinta pada Allah SWT daripada kecintaannya kepada anak satu-satunya yang dimiliki. Ia menyadari bahwa semua miliknya pada hakikatnya adalah milik dan pemberian Allah SWT. Bila dikehendaki, Ia berhak meminta kembali seluruh milik-Nya. Namun demikian, Ibrahim menempuh dengan cara-cara yang arif dan bijaksana, Ismail putra kesayangannya dipanggil untuk diperkenalkan pada hakikat hidup, cinta dan kebenaran. Dan Ismail mampu menangkap kegalauan hati ayahnya. Kepada sang ayah, Ismail memilih rangakain kata yang tepat dalam menyatakan argumentasi, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (As-Shafat: 102)
Keikhlasan kedua anak manusia ini benar-benar terpatri dalam jiwa, saat menjalankan perintah Allah SWT. Ketika pisau nyaris menggores leher Ismail, tiba-tiba terdengar suara dari lembah memanggilnya, “Wahai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (As-Shafat: 105-107).
Ibrahim dan Ismail telah menggoreskan tinta emas pembuktian keutuhan keimanan, kecintaan dan ketaatan pada Tuhannya. Sehingga Allah SWT menggantinya dengan kenikmatan yang tiada tara yaitu seekor sembelihan domba yang besar. Dan peristiwa inilah yang melatarbelakangi disyari’atkannya ibadah qurban yang dilaksanakan tanggal 10 sampai 13 Zuhijjah setiap tahunnya.
Kisah di atas bukanlah sepenggal dongeng, tetapi realita yang mengandung pelajaran berharga, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang beriman yang menggunakan akal pikirannya. Peristiwa Ibrahim, haji dan qurban selain rangkaian ritual yang berdimensi spiritual, pun merupakan ibadah yang menempa diri sehingga menjadi seorang yang berakidah hakiki dan berakhlak mulia. Kesempurnaan ibadah dapat diraih apabila formal syariahnya terpenuhi dan tumbuhnya akhlak terpuji sebagai pantulan praktek ibadah tersebut.
Ibadah qurban pada dasarnya mengandung dua makna yakni makna spiritual transendental dan makna sosial humanis. Sisi spiritual transendental sebagai konskuensi wajar dari ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan. Sedangkan sisi sosial humanis dari pendistribusian hewan qurban kepada yang berhak (mustahiq). Namun ini akan bernilai, manakala disertai dengan refleksi ketakwaan kepada Allah SWT. Artinya pendistribusian daging kepada mustahiq pada dasarnya mengandung maksud upaya meminilisir rasa kecemburuan sosial, lantaran strata kehidupan yang berbeda.
Di samping itu secara psikologis simbolis, qurban melambangkan pembuangan sifat hewani yang melekat pada diri manusia, seperi kejam, serakah dan egois yang disimbolkan dengan tebusan penyembelihan hewan. Sehingga darah yang mengalir dari hewan kurban, hendaknya dapat membuat insaf bahwa hewan saja rela berkurban demi menuruti kemauan manusia karena kekuasaannya. Maka secara nalar sehat, mestinya wajar jika manusia mau berkurban di jalan Allah SWT yang jelas-jelas Maha Kuasa. Dengan demikian nampak jelas bahwa ibadah qurban pada dasarnya sangat mengandung nilai social humanis dan endingnya memberikan atsar social humanis dalam kemaslahatan dunia dan akhirat.
Pelaksanaan ibadah qurban haruslah dimaknai sebagai pendidikan kepada orang yang mampu untuk memberikan sebagian harta kekayaannya kepada umat yang membutuhkan. Dengan harapan dapat meringankan beban penderitaan bagi kaum lain yang masih dalam kemiskinan. Membantu agar meringankan beban orang lain tidak selalu dengan harta kekayaan, melainkan bisa dengan kemampuan intelektual (konseptual). Orang yang tidak memiliki harta tetapi memiliki kualitas intelektual maka mereka harus membantu meringankan beban dengan pikiran.
Semangat membantu meringankan penderitaan sesama manusia adalah substansi qurban yang perlu dikedepankan. Orang yang tidak memiliki semangat untuk membantu meringankan beban penderitaan orang lain meskipun mereka setiap tahun melaksanakan penyembelihan hewan qurban, belum dapat dikatakan telah melaksanakan ibadah qurban. Sebaliknya, meskipun seseorang itu tidak pernah menyembelih hewan qurban tetapi memiliki semangat dan selalu memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan berarti mereka telah melaksanakan ibadah qurban.
Meningkatnya kesadaran religius yang ditandai dengan menggelembungnya kuantitas jemaah calon haji dan hewan qurban merupakan fenomena yang menggembirakan. Namun ironis, dalam rentang waktu yang bersamaan kualitas moral mengalami pemandulan. Artinya nilai pengorbanan pasca haji dan qurban pun mulai menjauhi pemiliknya? (Salwinsah Guru SMAN Titian Teras H. Abdurrahman Sayoeti Jambi)

 

Tinggalkan komentar