RSS

Cara Sahabat Memelihara Hadits

CARA SAHABAT MEMELIHARA HADITS
A. Pengertian Sahabat
Sahabat adalah sebuah kata yang tebentuk dari kata sahaba, yashahibu, suhbatan, sahibun yang berarti menemani atau menyertai. Kata sahabat juga mengandung beberapa pengertian. Menurut Ibnu Hajar defenisi sahabat adalah orangyang pernah bertemu dengan Nabi Muhammad SAW dalam keadaan beriman kepada beliau dan meninggal dalam keadaan Islam. 1)
Al Waqidi: kami melihat para ulama mengatakan, mereka (sahabat Rasulullah SAW) adalah siapa saja yang melihat rasul, mengenal dan beriman kepada beliau, menerima dan ridha terhadap urusan-urusan agama walaupun sebentar. Ahmad bin Hambal: siapa saja yang bersama dengan rasul selama sebulan atau sehari atau statu jam atau hanya melihat beliau saja, maka mereka adalah sahabat Rasulullah saw. Bukhari: barang siapa yang bersama Rasulullah atau melihat beliau dan dia dalam keadaan Islam, maka dia adalah Sahabat Rasulullah. 2)
Sumber lain mengatakan bahwa sahabat adalah orang mukmin yang bertemu Nabi atau hanya pernah melihat saja, maka disebut sahabat. (Definisi ini diberikan oleh Imam Bukhari dan dianggap yang terbaik di antara semua definisi).
Sahabat besar (Kibar Sohabat) adalah sahabat yang banyak bergaul bersama Nabi, banyak belajar, banyak mendengar hadist-hadist dari beliau, sering pergi berjihad dan sebaginya. Kibar Sahabat ini seperti Abu Bakar, Umar bin
__________________________
1. Ash-Shiddieqy Hasbi, Sejarah Perkembagan Hadis, hal. 67
2. Ramli Abul Wahid, Study Ilmu Hadis, hal. 21

Khattab, Utsman, Ali, Ibnu Mas’ud dan lain-lain. Sahabat kecil (Sighor Sohabi) adalah sahabat yang jarang bergaul bersama Nabi, disebabkan tepat tinggalnya jauh dari Nabi, atau terakhir masuk Islam, dan lain-lain. 3)
Dari berbagai pengertian di atas, mayoritas ulama ahli hadis sepakat memberikan pengertian bahwa sahabat adalah orang yang bertemu Nabi dan beriman serta mati dalam keadaan iman, dalam pengertian ini, termasuk mereka yang bertemu dengan nabi dalam waktu yang lama maupun sebentar, baik yang meriwayatkan hadis atau tidak, baik yang ikut berperang atau tidak dan bahkan termasuk mereka yang hanya melihat saja dan juga orang yang tidak bisa melihatnya karena sesuatu hal, seperi buta.
Dari beberapa defenisi sahabat di atas, dapat disimpulkan bahwa sahabat adalah orang yang bersama Rasulullah SAW, bergaul dan menjalankan ibadah sesuai dengan yang dilakukan Rasulullah SAW, dia juga seaqidah dengan rasul dan matinya dalam keadaan Islam.

B. Arti Penting Sunnah Bagi Sahabat
Para sahabat r.a. sepenuhnya sadar bahwa sunnah adalah bagian tidak terpisahkan dari agama Allah. Seperti Al-Qur’an sendiri menyuruh taat kepada perintah Rasulullah SAW. dan menjauhi larangannya, untuk meneladaninya, dan mengikuti sunnahnya. Bahkan, Rasulullah SAW mengancam orang yang meninggalkan dan mengabaikan sunnah dengan dalih bahwa Al-Qur’an sudah memadai.
Sejak awal Rasulullah SAW telah mengungkap adanya kelompok-kelompok tertentu yang bertujuan merobek-robek Islam dengan jalan memisahkan kitabullah
__________________
3. Ramli Abul Wahid, Study Ilmu Hadis, hal. 25
dari sunnah. Mereka berasumsi bahwa yang wajib diikuti hanyalah Al-Qur’an dengan mengabaikan sunnah. Rasulullah SAW telah mengetahui kecenderungan ini sejak awal, sehingga beliau merasa perlu memperingatkan agar umatnya tidak terjebak.
Beliau bersabda, “Nanti akan datang suatu masa saat seorang dari kalian sedang duduk di peraduannya, lalu diajukan kepadanya perintah dan laranganku, lalu ia berkata, ‘Aku tidak tahu, kami hanya mengikuti apa yang ada dalam kitab Allah saja’.” . 4)
Para sahabat telah merasakan peran penting sunnah sejak turunnya ayat Al-Qur’an yang bersifat mujmal (umum, membutuhkan perincian), seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Semua kewajiban ini tidak dapat dilaksanakan tanpa penjelasan sunnah. Mereka tidak dapat memahaminya kecuali dengan kembali kepada Rasulullah SAW sebagai penerapan dari firman Allah SWT,
       ••      
“Keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (An-Nahl: 44). 5)
________________________
4. Nata, Abudin, Al-Quran dan Hadis, hal. 88
5. Software “ Al-Qur’an “

Selain itu, beberapa ayat bersifat umum dan mutlak, dan para sahabat tidak tahu teknis pelaksanaannya. Mereka merujuk pada sunnah tentang pengecualian ayat yang bersifat umum atau pembatasan ayat yang bersifat mutlak. Di samping itu, seperti halnya Al-Qur’an, sunnah juga menetapkan hukum secara independen karena tidak terdapat dalam Al-Qur’an.
Karena itu, para sahabat sangat membutuhkan sunnah. Kebutuhan ini mengharuskan mereka meriwayatkan, menjaga, menghafal, dan mewariskan hadits kepada generasi yang lahir sesudahnya. Mereka serius mengawal sunnah, sejak menerimanya dari Rasulullah SAW hingga menyampaikan kepada generasi berikutnya dengan cara yang shahih dan metode yang benar, tanpa distorsi dan manipulasi dengan cara menambah atau menguranginya . 6)
C. Memelihara Hapalan demi Kesinambungan Sunnah
Abu Nadhrah, seorang tabi’in, mengisahkan perbincangannya dengan Abu Sa’id. Ia minta Abu Sa’id menuliskan hadits-hadits Rasulullah SAW karena ia tidak mampu menghafal. Abu Sa’id menolak. Alasannya, hafalan adalah alat utama dalam menjaga sunnah Nabi dan jalan paling banyak digunakan para sahabat.
Abu Nadhrah berkata, “Saya berkata kepada Abu Sa’id, ‘Tolong tuliskan hadits karena kami tidak bisa menghafal.’ Abu Sa’id menjawab, ‘Kami tidak menulisnya untuk kalian dan kami tidak menjadikannya sebagai mushaf. Ia menceritakannya dan kami menghafalnya. Pesannya, ‘Hafalkanlah dari kami seperti kami menghafalnya dari Nabi’.”. Senada dengan hal itu, Abu Musa al-Asy’ari berpesan, “Hafalkanlah dari kami sebagaimana kami menghafal sebelumnya.” 7)
_________________________
6. Nata, Abudin, Al-Quran dan Hadis, hal. 92
7. Djuned Daniel, Paradigma Baru Study Ilmu Hadis, hal. 267
Terdapat banyak keterangan, khususnya tentang sahabat yang terkenal banyak menghafal hadits dan riwayat, seperti Abu Hurairah r.a. Said bin Abu Hasan berkata, “Tidak ada sahabat Nabi SAW yang lebih banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah SAW selain Abu Hurairah.” Pola kehidupan sahabat ini diwarisi oleh generasi tabi’in yang datang kemudian. Abu Sofyan menegaskan sikapnya untuk tidak menulis dan mengandalkan hafalan di luar kepala. Ia berkata, “Aku tidak menulis hadits dari Abu Hurairah, tetapi kami menghafalnya.” Demikianlah, para tabi’in terlatih menghafal hadits dan tidak beralih pada penulisan, kecuali dalam beberapa situasi. Khalid al-Hadza’ (141 H) berkata, “Aku tidak menulis sesuatu kecuali sebuah hadits yang panjang. Jika aku telah menghafalnya, aku lalu menghapusnya.” 8)
Imam Adz-Dzahabi meringkas karakteristik ilmiah generasi pertama: “Sesungguhnya ilmu sahabat dan tabi’in itu ada dalam hati mereka (dihafal di luar kepala, pen.). Ini adalah gudang penyimpanan ilmu mereka,” ungkap Adz-Dzahabi. Abu Thalib al-Makki (381 H) menyebutkan, generasi pertama tabi’in tidak suka mencatat hadits. Mereka berkata, “Hafalkanlah seperti kami menghafal.” Inilah sikap mereka dalam menjaga sunnah. Seperti digambarkan Ibnu Hajar, “Sekelompok sahabat dan tabi’in tidak suka penulisan hadits dan lebih suka bila orang meriwayatkan dari mereka dengan cara menghafal, seperti cara yang dulu mereka gunakan. Namun, ketika perhatian berkurang dan para ulama khawatir hilangnya hadits, mereka lalu menulisnya.” Kalangan yang mengamati bangsa Arab masa jahiliah dan permulaan Islam tahu pasti bahwa mereka memiliki ingatan kuat. Mereka biasa pergi ke suuq al-adab (pasar sastra) dan membacakan syair dalam bentuk qashidah (kumpulan bait syair). Dengan sekali mendengar, mereka langsung menghafalnya. 9)
___________________________
8. Nata, Abudin, Al-Quran dan Hadis, hal. 107
9. Nata, Abudin, Al-Quran dan Hadis, hal. 107-108
Berbagai keterangan ini menjelaskan bahwa menghafal adalah cara utama dalam menjaga sunnah, baik pada periode sahabat maupun tabi’in. Cara lainnya adalah menulis, seperti yang juga diawali pada masa Nabi Muhammad SAW.
Dengan kuatnya daya hafal para sahabat akan memberi jaminan kesinambungan sunnah untuk masa-masa yang akan datang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terpeliharanya kesinambungan sunah atau hadits sejak masa Nabi Muhammad saw sebagai berikut :
1. Quwwat Al-Zakirah, yaitu kuatnya hafalan para sahabat yang menerima dan mendengarkan langsung hadis-hadis dari Nabi SAW. Dan ketika mereka menyampaikan atau meriwayatkan hadis-hadis tersebut kepada sahabat-sahabat lain, mereka menyampaikan persis seperti yang didengar pada Rasulullah SAW
2. Sangat hati-hati para sahabat dalam meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW. Hal ini mereka lakukan karena mereka khawatir, akan terajadi percampuran hadis dengan yang bukan hadis. Oleh karena itu maka ada para sahabat yang sangat sedikit menghafal hadis dan meriwayatkannya. Termasuk Umat Ibnu Al-Khattab. Dan juga para sahabat ketika menyampaikan dan melafalkan hadis-hadis tersebut penuh dengan kehati-hatian, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam pengucapannya.
3. Para sahabat sangat hati-hati dalam menerima hadis dari seseorang, bahkan tidak sembarangan. Para sahabat menerima hadis dari siapapun, kecuali jika bersama perawi itu ada orang lain yang mendengar dari Nabi SAW, atau dari perawi lain di atasnya. Termasuk Abu Bakar salah seorang sahabat yang sangat berhati-hati dalam menyampaikan hadis. 10)
__________________________
10. Muhammad ’Ajaj al Khatib, Ushul al Hadis, hal. 468
D. Pemeliharaan dan Kepedulian Sahabat terhadap Sunnah
Di Masa kekhalifahan Khulafar-Rasyidin, periwayatan sangat sedikit dan agak lamban, terutama masa Abu Bakar dan Umar. Pada periode ini periwayatkan hadis-hadis dilakukan dengan sangat hati-hati, beliau tidak sembarangan menerima. Menerima hadis sebagaimana yang terjadi pada suatu hari, Abu Musa Al-‘Asyari mendatangi rumah Umar, setibanya di rumah Umar, beliau memberikan salam sebanyak tiga kali, Umar tidak menjawab sekalipun. Abu Musa pun tidak jadi masuk ke rumah Umar. Ketika melihat Abu Musa sudah tidak ada lagi, lalu Umar mengejarnya sampai ketemu dan bertanya pada Abu Musa, kenapa anda berbalik? Abu Musa menjawab, bahwa kata Rasulullah barang siapa mengucapkan salam sampai tiga kali tidak dijawab maka tidak dibenarkan masuk ke dalam rumah tersebut. Lalu Umar mengatakan, Saya belum percaya apa yang kamu sampaikan sebelum kamu menghadirkan seorang saksi, yang mau menjadi saksi apa yang kamu sampaikan itu.
Terhadap kasus tersebut dapat dipahami bahwa Umar tidak percaya apa yang disampaikan Abu Musa, bukan apa-apa, beliau menyuruh pada Abu Musa untuk menghadirkan saksi agar tidak sembarangan mengada-ada apa yang disampaikan oleh Nabi. Dan juga Umar Ibnu Khattab adalah termasuk orang yang paling menentang dan tidak suka terhadap orang-orang yang memperbanyak periwayatan hadis.
Dalam ketelitian meriwayatkan hadis tidak hanya Umar Ibnu Khattab, Abu Bakar, Usman Ibnu Affan pun termasuk sahabat yang sangat teliti dalam meriwayatkan hadis, bahkan ia pernah mengatakan dalam suatu khotbahnya agar para sahabat tidak banyak meriwayatkan hadis yang mereka tidak mendengar di masa Abu Bakar dan Umar. Begitu juga Ali Ibnu Abi Thalib yang tidak dengan mudah menerima hadis dari orang lain. Sejarah mencatat bahwa dimasa Khulafa ar-Rasyidin, khususnya masa Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadis sangat sedikit dan lambat. Hal ini disebabkan kecendrungan mereka secara umum untuk menyedikitkan riwayat, disamping sikap ketelitian para sahabat dalam menerima hadis, bertujuan supaya terpelihara dari berbagai kekeliruan. 11)
Ketelitian dan kehati-hatian dalam menerima sebuah hadis tidak hanya terlihat pada para Khulafa ar-Rasyidin saja, akan tetapi hal ini juga terjadi pada sahabat-sahabat yang lain. Sikap kesungguhan dan kehati-hatian sahabat dalam memelihara hadis diikuti pula oleh para Tabi’in yang datang setelah itu, sebagaimana yang terjadi dikalangan para Tabi’in yang ada di Basrah, mereka selalu mengadakan konfirmasi dengan para sahabat yang ada di Madinah tentang keaslian hadis. Sekalipun hadis itu mereka terima dari para sahabat, karena para Tabi’in masih merasa perlu untuk mencek kebenaran hadis tersebut dari sahabat yang lain.
Berbagai bukti perhatian para sahabat terhadap sunnah dapat dirinci sebagai berikut:
1. Semangat yang tinggi dalam mendengar hadits. Para sahabat sangat bersemangat menghadiri majelis Rasulullah SAW untuk mendengarkan sabda dan menyaksikan seluruh perbuatannya. Jika sibuk dengan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan hingga tidak bisa hadir, mereka datang bergantian. Targetnya, agar orang yang hadir bisa menyampaikan kepada yang tidak hadir.
2. Mereka tidak pernah jenuh mendengar hadits dari Rasulullah SAW lebih dari satu kali. Bahkan, sebagian sahabat berpendapat bahwa seseorang tidak boleh meriwayatkan hadits kecuali telah mendengarnya lebih dari tiga kali. Amir bin Abasah berkata, “Seandainya aku tidak mendengarnya dari Rasulullah SAW kecuali satu, dua, atau tiga kali, hingga tujuh kali, selamanya aku tidak akan menceritakannya. Namun,
_________________________
11. Ash-Shiddieqy, M.Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, hal. 453-455
aku mendengarnya lebih dari jumlah itu.” Senada dengan itu, Abu Umamah juga berkata, “Kalau aku tidak mendengar dari Nabi saw. kecuali hanya tujuh–Abu Said berkata, ‘kecuali tujuh kali’–aku tidak meriwayatkannya.”
3. Mereka sangat berhati-hati dalam mendengar dan menghafal hadits. Hal ini dalam rangka menjaga kemurnian dan orisinalitas riwayatnya, tanpa distorsi dan penyimpangan sekecil apa pun. Seolah-olah mereka selalu menaruh di depan mata peringatan Rasulullah SAW “Siapa yang berdusta atas namaku, hendaklah dia menyiapkan tempat duduknya di neraka.” 12)
Khawatir jatuh dalam berbuat dusta terhadap Rasulullah saw., membuat sahabat bersikap ekstra hati-hati dalam mendengar dan menerima hadits. Utsman bin Affan berkata, “Tidak ada yang menghalangiku untuk meriwayatkan hadits dari Rasulullah saw. kecuali keinginanku untuk menjadi sahabat yang paling berhati-hati meriwayatkan dari beliau. Aku bersaksi bahwa aku mendengar beliau bersabda, ‘Siapa yang mengatakan dariku apa yang tidak aku katakan, hendaknya ia mempersiapkan tempat duduknya dalam api neraka’.”
Ali r.a. juga mengungkapkan kekhawatirannya jika mendengar hadits secara tidaka semestinya, atau menghafalnya secara keliru sehingga salah dalam menyampaikan dan mengucapkan berita yang bersumber dari Rasulullah saw., “Soal berita dari Rasulullah, lebih baik aku dilemparkan dari langit daripada mengatakan apa yang tidak beliau katakan,” papar Ali bin Abi Thalib r.a.
Kenyataannya, tidak semua sahabat mendengar sabda dan melihat perbuatan Nabi SAW karena sebagian mereka sibuk dengan urusan pribadi dan kemaslahatan umat, hingga tidak sempat menghadiri majelis Rasulullah SAW.
_________________________
12. Muhammad ’Ajaj al Khatib, Ushul al Hadis, hal. 471
Akibatnya, mereka terpaksa mendengar melalui rekannya. Walau demikian, dalam kondisi ini, mereka tetap bersikap ketat bahkan terhadap rekan mereka sendiri. Fakta ini dijelaskan Al-Bara’ bin Azib, “Tidak semua hadits kami dengar dari Rasulullah SAW. Orang yang menceritakan adalah para sahabat kami sementara kami sibuk memelihara unta. Sementara itu, para sahabat Nabi SAW meminta apa yang tidak langsung mereka dengar dari Rasulullah SAW lalu mereka dengar dari rekannya dan dari orang yang lebih hafal dari mereka. Mereka dikenal ketat terhadap orang yang mereka dengar.”
Dalam beberapa kondisi, sikap hati-hati ini mengakibatkan para sahabat menyuruh rekannya sendiri bersumpah di hadapan mereka Ali bin Abi Thalib r.a. melakukan hal ini jika ia mendengarkan nya lewat perantara orang lain dan tidak langsung dari Rasulullah saw. 13)
Ini tidak berarti para sahabat mendustakan orang yang menyampaikan hadits pada mereka. Sama sekali tidak. Tidak ada satu pun bukti bahwa salah seorang sahabat r.a. meragukan kejujuran saudaranya, apalagi menuduhnya berdusta. Yang mereka khawatirkan adalah kesalahan perawi dalam meriwayatkan hadits, sehingga menyampaikan hadits dengan tidak semestinya.
Jika dipahami sikap hati-hati dan perhatian para sahabat dalam menjaga sunnah, baik dalam hafalan dan periwayatan, kita dapat memahami beberapa sikap yang mereka ambil pada rekan dan saudara mereka sendiri. Misalnya, menyuruh bersumpah, meminta saksi, tawaqquf (berhenti dan tidak mengambil sikap) terhadap sebuah hadits, dan berbagai sikap keras lainnya dalam menerima riwayat. Hal ini didasari oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Rasa bertanggung jawab terhadap sunnah, agar diwariskan generasi berikutnya dengan benar. Hal ini tidak menunjukkan bahwa para
_______________________
13. Ranuwijaya, Ilmu Hadis, hal. 249
sahabat meragukan kejujuran rekan-rekannya, apalagi menuduh mereka berdusta. Pasalnya, mereka adalah sebaik-baik umat yang diperuntukkan bagi manusia. Allah SWT sendiri telah memuji mereka di banyak tempat di dalam Al-Qur’an.
2. Perbedaan pendapat terjadi dalam memahami beberapa hadits dan simpulannya. Hal ini bisa terjadi jika makna sebuah hadits pernah dipraktikkan pada suatu masa dan setelah itu dihapus (naskh). Padahal, perawi hadits ini belum mendengar berita tentang penghapusan, sehingga ia masih terus mengamalkannya. Situasi lain adalah sifat tawaqquf (abstain) sebagian sahabat terhadap hadits yang belum mereka dengar, sampai mereka yakin bahwa hadits itu berasal dari Rasulullah saw. Setelah y akin, mereka tidak ragu menerima dan mengamalkannya, bahkan menyesal karena tidak mendengarnya secara langsung. 14)

E. Kesimpulan
Dari pembahasan makalah ini dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. sahabat adalah orang yang bersama Rasulullah SAW, bergaul dan menjalankan ibadah sesuai dengan yang dilakukan Rasulullah SAW, dia juga seaqidah dengan rasul dan matinya dalam keadaan Islam.
2. Para sahabat sangat membutuhkan sunnah. Kebutuhan ini mengharuskan mereka meriwayatkan, menjaga, menghafal dan mewariskan hadits kepada generasi yang lahir sesudahnya. Mereka serius mengawal sunnah, sejak menerimanya dari Rasulullah SAW hingga menyampaikan kepada generasi berikutnya dengan cara yang shahih dan metode yang benar, tanpa distorsi dan manipulasi dengan cara menambah atau menguranginya
________________________
14. Muhammad ’Ajaj al Khatib, Ushul al Hadis, hal. 191
3. Berbagai keterangan menjelaskan bahwa menghafal adalah cara utama dalam menjaga sunnah, baik pada periode sahabat maupun tabi’in. Cara lainnya adalah menulis, seperti yang juga diawali pada masa Nabi Muhammad SAW. Dengan kuatnya daya hafal para sahabat akan memberi jaminan kesinambungan sunnah untuk masa-masa yang akan datang.
4. Ketelitian dan kehati-hatian dalam menerima sebuah hadis tidak hanya terlihat pada para Khulafa ar-Rasyidin, tetapi juga terjadi pada sahabat-sahabat yang lain. Sikap kesungguhan dan kehati-hatian sahabat dalam memelihara hadis diikuti pula oleh para Tabi’in yang datang setelah itu, sebagaimana yang terjadi di kalangan para Tabi’in yang ada di Basrah, mereka selalu mengadakan konfirmasi dengan para sahabat yang ada di Madinah tentang keaslian hadis. Sekalipun hadis itu mereka terima dari para sahabat, para Tabi’in masih merasa perlu untuk mencek kebenaran hadis tersebut dari sahabat yang lain.

DAFTAR PUSTAKA

– Softwere “Al-Qur’an”
– Ash-Shiddieqy, M.Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis,
Jakarta : Bulan Bintang, Cet. X, 1991.
– Djuned Daniel, Paradigma Baru Study Ilmu Hadis, Banda Aceh : Citra
Karya, 2002.
– Muhammad ’Ajaj al Khatib, Ushul al Hadis (Pokok-pokok Ilmu Hadis),
Jakarta: Gaya Media Pratama, 2007.
– Nata, Abudin, Al-Quran dan Hadis, Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada,
1996.
– Ramli Abul Wahid, Study Ilmu Hadis, Medan: Lp2lk, 2003.
– Ranuwijaya, Ilmu Hadis, Jakarta : Gaya Media Pratama, Cet.III, 1998

 

Tinggalkan komentar