RSS

Islam dan Fluralisme Era Globalisasi

Islam dan Fluralisme Era Globalisasi

A. Pendahuluan
Munculnya gerakan Islam liberal, menghangatkan kembali diskursus sekularisasi dan sekularisme. Lahirnya berbagai pemikiran dan gerakan baru dalam upaya memajukan Islam menelorkan beberapa konsep pemikiran yang sampai hari ini masih terus hangat dan terus diperdebatkan. Bahkan sekularisasi-sekularisme menjadi isu dan wacana sentral yang diasongkan oleh para tokoh yang berkompeten untuk menjernihkan terjadinya pro dan kontra.
Pada penilaian sisi lain, salah satu imbas negatif dari globalisasi (globalization) adalah munculnya tren-tren pemikiran baru. Salah satunya adalah faham “relativisme kebenaran”. Tren yang muncul –dari faham ini–kemudian adalah “Pluralisme Agama”. Satu faham dimana setiap pemeluk agama tidak memiliki hak untuk mengklaim bahwa agamanya yang benar, atau “paling” benar. Tren ini banyak menyita perhatian, dari praktisi hukum hingga –khususunya– para teolog.
Pemahaman pluralisme agama muncul pada masa yang disebut dengan Pencerahan (Enlightment) Eropa, tepatnya pada abad ke-18 Masehi, masa yang sering disebut sebagai titik permulaan bangkitnya gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai dengan wacana-wacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Di tengah hiruk-pikuk pergolakan pemikiran di Eropa yang timbul sebagai konsekuensi logis dari konflik-konflik yang terjadi antara gereja dan kehidupan nyata di luar gereja, muncullah suatu paham yang dikenal dengan “liberalisme”, yang komposisinya adalah kebebasan, toleransi, persamaan dan keragaman atau pluralisme.* (http.ulul4lb4b. multiply.com).
B. Pengaruh Peradaban Pluralisasi Agama
Sebenarnya kalau ditelusuri lebih jauh dalam peta sejarah peradaban agama-agama dunia, kecenderungan sikap beragama yang pluralistik, dengan pemahaman yang dikenal sekarang, sejatinya sama sekali bukan barang baru. Cikal bakal pluralisme agama ini muncul di India pada akhir abad ke-15 dalam gagasan-gagasan Kabir (1440-1518) dan muridnya, yaitu Guru Nanak (1469-1538) pendiri “Sikhisme”. Hanya saja, pengaruh gagasan ini belum mampu menerobos batas-batas geografis regional, sehingga hanya populer di anak benua India. Ketika arus globalisasi telah semakin menipiskan pagar-pagar kultural Barat-Timur dan mulai maraknya interaksi kultural antar kebudayaan dan agama dunia, kemudian di lain pihak timbulnya kegairahan baru dalam meneliti dan mengkaji agama-agama Timur, khususnya Islam, yang disertai dengan berkembangnya pendekatan-pendekatan baru kajian agama (scientific study of religion), mulailah gagasan pluralisme agama berkembang secara pelan tapi pasti, dan mendapat tempat di hati para intelektual hampir secara universal.
Yang perlu digaris-bawahi di sini, gagasan pluralisme agama sebenarnya bukan hasil dominasi pemikir Barat, namun juga mempunyai akar yang cukup kuat dalam pemikiran agama Timur, khususnya dari India, sebagaimana yang muncul pada gerakan-gerakan pembaruan sosio-religius di wilayah ini. Sementara itu, dalam diskursus pemikiran Islam, pluralisme agama, masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama yang muncul lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam. Pendapat ini disepakati oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia Kedua, yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar bagi generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Kemudian di lain pihak gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam melalui karya-karya pemikir mistik Barat Muslim, seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad). Karya-karya mereka ini sangat sarat dengan pemikiran dan gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama di kalangan Islam.
Pluralisme agama merupakah faham yang tidak menemukan legitimasinya di dalam Islam. Menurut Abdilhussein Khisrobenah, al-ta‘addud al-dîniyyah (religious pluralism) adalah satu mazhab yang mengorbankan orisinilitas (al-ashâlah) demi kepentingan banyak aliran (al-katsrah). Konsep ini juga terbagi ke dalam berbagai macam orientasi, seperti pluralisme moral (al-ta‘addudiyyah al-akhlâqiyyah), politik (al-siyâsiyyah), sosial (al-ijtimâ‘iyyah) dan agama (al-dîniyyah).
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menghampiri kita dalam pluralisme agama ini adalah apakah seluruh agama dan aqidah (al-adyân wa al-‘aqâ’id) dalam dalam satu kebenaran (haqq)? Tidak diragukan lagi bahwa tesa faham pembatasan (exdusirism, al-inhishâriyyah) merupakan awal yang yang dihadapi oleh seorang pemikir ketika bersinggungan dengan seluruh agama yang ada. Setiap agama meyakini bahwa kebahagiaan dan kebenaran (al-sa‘âdah wa al-haqq) terbatas dalam aqidahnya saja.
Klaim-klaim seperti di atas sebenarnya lahir dari perasaan superior. Ini sebenarnya alami. Karena setiap pemeluk satu agama, pasti menganggap agamanya paling benar, dan yang lain salah. Klaim kebenaran dan keutamaan (afdhaliyyah), misalnya, terdapat di dalam tiga agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Umat Yahudi sendiri diakui oleh Allah sebagai umat yang dimuliakan. Kaum Yahudi mengklaim diri mereka sebagai bangsa Allah yang terpilih (sya‘b Allâh al-mukhtâr, the choosen people). Klaim ini lah yang disebut oleh Roger Garaudi sebagai “mitos” tak berdasar. *(http.ulul4lb4b. multiply.com 23/03/2008)
Agama Kristen juga mengklaim sebagai agama yang “paling” benar. Bahkan menurut doktrin Gereja (sebelum Konsili Vatikan II) tidak ada keselamatan “di luar Gereja”, extra ecclesiam nulla salus. Meskipun pada Konsili Vatikan II, Gereja merubah teologinya menjadi “teologi inklusif”. Teologi “inklusif” inilah kemudian diadopsi oleh beberapa pemikir Muslim, untuk merubah teologi Islam. Padahal, teologi Islam itu “inklusif” sekaligus “ekslusif”. Artinya, teologi Islam adalah “teologi akomodatif”. Teologi Islam bukan teologi “ekstrim” (bayna al-ifrâth wa al-tafrîth).
Islam juga oleh Allah diakui sebagai “umat terbaik” (khayra ummatin) yang dilahirkan untuk seluruh manusia (ukrijat li al-nâsi). Predikat “baik” (khayriyyah) ini pun bukan “harga gratis”. Ia memiliki empat syarat penting: (1) menyuruh kepada yang baik (amr bi al-ma‘rûf); (2) mencegah –manusia lain—dari segala bentuk kemungkaran (al-nahy ‘an al-munkar); dan (3) beriman kepada Allah (tu’minûna bi Allâh). Dengan begitu, umat Islam akan memperoleh “kemenangan”.
C. Arus Pluralisme dalam Pembentukan Etika Global
Dewasa ini, wacana keberagamaan dan etika global merupakan salah satu kajian fundamental yang menarik, dalam kaitannya menyangkut pembentukan pola pola hidup manusia. Sikap dan gaya hidup (life style) manusia sangat ditentukan oleh perubahan yang terjadi pada era sekarang ini. Nampaknya, wacana pluralisme agama dan etika global telah menempati posisi aktual serta memperoleh tanggapan yang menarik dari berbagai kalangan, baik kalangan akademis maupun kalangan praktisi.
Mereka memakai sudut pandang berbeda dalam mendekati dan memecahkan permasalahan yang ada. Sehingga kemampuan dan ketajaman telaah terhadap fenomena keberagamaan merupakan syarat utama guna memperoleh hasil yang optimal dan segar, serta mampu menyentuh akar rumput atau wilayah historis-empiris. Tidak dapat dipungkiri bahwa masalah pluralisme agama selain berimplikasi pada segi positif juga negatif.
Gelombang aksi tentang dialog agama, menjadi event penting dan sebagai bagian integral yang nyaris tidak pernah terlewatkan dan sampai batas final. Fenomena demikian, sering kita saksikan di berbagai lembaga, baik lembaga pendidikan, lembaga kenegaraan, maupun aktivis keagamaan. Namun, hasilnya hanya sebatas wacana konseptual yang masih sangat sulit dan kering terejawantahkan secara baik pada kehidupan umat beragama. Tentu kegiatan dialog agama memerlukan kesadaran untuk saling terbuka dan mengakui kebenaran agamanya dan percaya bahwa agama lain juga mengandung kebenaran. Tingkat kesadaran seperti ini kalau dipupuk dan disosialisasikan kepada umat beragama, maka formulasi dari dialog agama akan membuahkan hasil positif bagi tumbuhnya tingkat toleransi antar umat beragama.
Patut disayangkan, bahwa ternyata seringkali diadakan dialog agama, tetapi juga sering disertai dengan timbulnya konflik antar agama yang pada ujung-ujungnya mengarah kepada kekerasan, anarkhis dan radikal. Hal ini tidak aneh lagi terjadi di negara kita yang notabene memang memiliki kemajemukan (pluralis) agama dan budaya (culture). Pluralisme agama membawa resiko tinggi terhadap munculnya konflik agama dan lebih-lebih mengarah pada tindakan anarkhi serta sebagai jastifikasi. Kalau sudah seperti ini, berarti agama juga modal tumbuhnya koflik dan disintegrasi.
Dalam perspektif agama, dasar untuk hidup bersama, damai merupakan landasan yang harus hendak dibangun berdasarkan cita-cita agama itu dihadirkan di muka bumi ini. Penyebab terjadinya aksi anarkhi, kekerasan, kerusuhan biasanya dimulai oleh suatu gejala sosial yang kemudian menyulut pada wilayah agama. Sehingga pada akhirnya, agama menjadi sasaran utama sebagai biang terjadinya aksi itu. Padahal, kalau ditelusuri secara mendalam konflik tersebut sebenarnya bukan terletak pada agama secara an sich, tetapi pada wilayah historis-empirisnya.
Selama ini, masih banyak pemahaman umat beragama yang masih parsial dan sempit terhadap agama itu sendiri. Karena itu, mengutip Richard C. Martin dalam tulisan Amin Abdullah (1996), dalam studi agama dikenal dua macam pendekatan, yaitu pendekatan seorang believer dan pendekatan historian. Pendekatan seorang “mukmin” (percaya sepenuh hati) dan pendekatan seorang “muarrikh” (ilmuan yang kritis). Bagi seorang agamawan yang baik, sudah barang tentu, pendekatan seorang belivier dianggap paling baik sehingga patut diutamakan. Perbandingan agama menjadi penting, sebagai alternatif untuk mengurangi konflik agama. Karena pada dasarnya bahwa setiap agama memiliki letak perbedaan dan kesamaan. Dari perbadingan agama tersebut diharapkan sebagai penelusuran keimanan (search of faith) terhadap agama lain serta bila perlu membandingkan doktrin suatu agama satu dengan agama lain.
Karena bagaimana mungkin kita mengetahui kesamaan dan perbedaan dalam satu agama dengan agama lain, sementara kita tidak pernah melakukan perbadingan agama. Dengan perbandiangan agama semacam ini, maka akan timbul sebuah interaksi “dialogis” yang terbuka. Keterbukaan (inklusifitas) dan saling menghormati agama satu dengan agama lain merupakan kekuatan yang mampu sebagai perekat persatuan hati dan lebih-lebih menumbuhkan toleransi agama. Jika tidak dilakukan, maka konsekuensi yang bakal ditanggung akan beresiko sangat tinggi.
Untuk melihat lebih jauh, kita harus membedakan antara dimensi ajaran agama dan perilaku umat beragama. perilaku umat beragama selain ditentukan oleh pemahaman “normativitas” ajaran agamanya, juga sangat ditentukan oleh kekuatan-kekuatan “sosio-historis” dan politis yang melingkarinya. Ajaran agama yang fundamental hanya bersifat pemberi ”warning” terhadap adanya berbagai macam sekat-sekat historis-politis-ekonomis yang seringkali berlindung pada naungan payung emosional aliran teologis tertentu. . *http.//: mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com
D. Pembentukan Pluralisasi pada Era Global
Bahasan tentang etika, sebanarnya berbeda sema sekali dengan wilayah agama. Kalau wilayah agama pembahasan yang ditelaah, dikaji bersifat konseptual, sedangkan etika pembahasannya memasuki pada wilayah praktis, sosio historis-empiris. Sehingga kali ini, pembahasan yang dikaji adalah pembentukan etika sebagai ukuran dalam melandasi prilaku dan tidakan seseorang dalam mengahadapi di era global ini.
Dalam pandangan kemanusiaan (antroposentris), atmosfir etika masih dikelilingi oleh bias-bias akar budaya setempat yang menjelma sebagai dasar, pijakan perilaku seseorang. Padahal, sesungguhnya satu negara dengan negara lain memiliki budaya dan etika berdeda. Sehingga secara langsung menuntut adanya perbedaan sebagai parameter dalam menetapkan sebuah kelonggaran bagi tumbuhnya etika gobal itu.
Dalam hal ini, Dr. Amin Abdullah (1997), mengemukakan bahwa pola berpikir yang berlaku dalam tradisi yang hidup (living tradition) mencakup beberapa faktor yang saling terkait. Menyebut beberapa di antaranya adalah sistem pendidikan dan pengajaran, pengasuhan anak dalam keluarga, pengaruh lingkungan, pemikiran keagamaan, setting sosial, pelatihan intelektual dan sebagainya. Masing-masing berdiri sendiri-sendiri namun saling berkait. Sistem etika, sebenarnya lebih luas cakupannya daripada hanya terfokus pada konsep keagamaan. Oleh karena itu, filsafat moral secara eksplisit atau implisit erat berkait dengan sosiologi.
Dalam globalisasi dunia yang kita rasakan ini dan biasa kita sebut-sebut belakangan ini merupakan salah satu dampak langsung dari keberhasilan revolusi teknologi-komunikasi, setelah didahului oleh dua revolusi dalam kebudayaan manusia, yaitu revolusi pertanian dan revolusi industri. Dan nampaknya, ketiga jenis revolusi di atas, bercampur menjadi satu di dalam “megatrend” pada abad XXI sekarang ini.
Kemajuan era global mendorong pada kemudahan informasi dan tranportasi. Demikian pula mendorong pada pola pikir manusia yang amat mendasar. Dan selanjutnya hal ini tentu mempengaruhi pola pikir umat beragama dalam menatap realitas kehidupan sekaligus menggiring kepada proses shiffing paradigm dalam etika keberagamaan manusia dari pra ke post scientific area. Pada dasarnya, tidak semua manusia menyadari apalagi, menyetujui perlunya perubahan di dalam menatap realitas kehidupan era globalisasi. Masih ada sebagian orang yang tidakpercaya bahwa manusia telah dapat mendarat di bulan, lantaran bulan dan planet-planet yang lain masih dianggap sebagian wilayah yang tidak akan tersentuh oleh teknologi manusia.
Oleh karena itu, kadar ketidak percayaan manusia terhadap arus perubahan yang dibawa serta oleh era global dapat mengambil bentuk sikap yang bermacam-macam. Dari bentuk sikap adaptif, yakni selalu sikap yang menyetujui bahwa pandangan manusia terhadap realitas kehidupan memang telah berubah sehingga perlu diadakan adaptasi seperlunya; ada juga sikap yang bersifat defensif, yakni sikap mempertahankan identitas diri dan memperkokoh konsep-konsep lama seperti sediakal karena dianggap telah berjasa pada zamannya dengan tidak jarang pula mengambil sikap konfontatif terhadap setiap perubahan karena dianggap sebagai bahya yang mengancam eksistensi kehidupan tersebut di atas mengandung unsur positif dan negatif tergantung kepada bagaimana membawakannya. *http.// :mujtahid- komunitas pendidikan. blogspot.com
Pluralisasi Islam yang muncul sekarang ini, baik dalam varian tradisionalis, modernis, maupun liberalis, telah menyediakan preseden-preseden struktural dan ideal bagi kemungkinan tumbuhnya politik sipil, masyarakat sipil, dan demokrasi sipil. Apapun perbedaan wacana, perbedaan kepentingan, dan perbedaan peranan ketiga varian itu di sektor politik, sosial, maupun kultural, di dalam maupun di luar negara, sumberdaya Islam yang mereka manifestikan dalam berbagai artikulasi telah memperkaya pilihan-pilihan untuk membangun demokrasi di kalangan umat. *(http.islamlib.com, 02/09/2001
Pengalaman masa lampau jelas menggambarkan bahwa suatu pemikiran dan perkembangan secara fleksibel apabila ia berakar dan mampu menjawab persoalan-persoalan nyata yang dihadapi masyarakat. Apa yang kita saksikan sekarang ini merupakan perkembangan wajar dari langkah-langkah yang sudah ditempuh masa lalu. Setelah umat Islam dengan segala keberaniannya telah melepaskan suatu wadah politik. Dengan lapang dada menerima apa-apa yang menjadi keputusan pemerintah dan dapat berharap mengisinya dengan nilai-nilai agama. Mereka ingin agar pihak-pihak lain yang selama ini curiga terhadap Islam dapat mempercayai ulama-ulama dan tokoh-tokoh Islam lainnya. *(Badri Yatim, 2008, hal. 275)
Sekarang terpulang kepada penganutnya bagaimana mengelola warisan yang kaya dari para pendahulu untuk direartikulasi ke arah gerakan sosial dan keagamaan dalam wacana sivilitas yang sesuai dengan konteks kekinian dalam pemaknaan pluralisme, kebebasan dan social-dignity.
E. Kesimpulan
Pluralisme agama dalam era globalisasi merupakan fenomena sosial yang harus dihadapi oleh semua umat beragama. Dalam era seperti ini setiap umat beragama tidak bisa menghindarkan diri dari pergaulan dengan umat beragama lain. Realitas seperti ini membutuhkan sikap yang arif dan bijaksana guna mewujudkan kehidupan yang damai, penuh toleransi, dan saling menghargai.
Namun pada kenyataannya, tuntutan untuk hidup berdamai, penuh toleransi, dan saling menghargai dengan umat lain seringkali menghadapi banyak kendala secara internal maupun eksternal, meskipun normatifitas semua agama mengajarkan untuk mewujudkan kehidupan ideal seperti itu.
Pertanyaan-pertanyaan mendasar yang menghampiri kita dalam pluralisme agama ini adalah apakah seluruh agama dan aqidah dalam dalam satu kebenaran? Tidak diragukan lagi bahwa faham pembatasan merupakan awal yang dihadapi oleh seorang pemikir ketika bersinggungan dengan seluruh agama yang ada. Setiap agama meyakini bahwa kebahagiaan dan kebenaran terbatas dalam aqidahnya saja.
Klaim-klaim seperti di atas sebenarnya lahir dari perasaan superior. Ini sebenarnya alami. Karena setiap pemeluk satu agama, pasti menganggap agamanya paling benar, dan yang lain salah. Klaim kebenaran dan keutamaan, misalnya, terdapat di dalam tiga agama samawi (Yahudi, Kristen dan Islam). Umat Yahudi sendiri diakui oleh Allah sebagai umat yang dimuliakan. Kaum Yahudi mengklaim diri mereka sebagai bangsa Allah yang terpilih. Klaim inilah yang disebut oleh Roger Garaudi sebagai “mitos” tak berdasar.

REFERENSI

– Abdul Azis Thaba, Drs, MA, Islam dan Negara Dalam Politik Orde Baru, 1996, Gema Insan Press, Jakarta
– Adnin Armas, MA., Pengaruh Kristen-Orientalis terhadap Islam Liberal: Dialog Interaktif dengan Aktivis Jaringan Islam Liberal, 2004, Gema Insani Press, Jakarta
– Ahmad Shalaby, Prof. DR, Kehidupan Sosial dalam Pemikiran Islam, (Terjemahan), 2001, Amzah
– Ahmad Syafi’I Ma’arif, DR, Islam dan Politik Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), 1996, Gema Insani Press, Jakarta
– Karen Amsrong, Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan yang Dilakukan oleh Orang-orang Yahudi, Kristen, dan Islam Selama 4.000 Tahun,(Terjemahan) 2004, Mizan, Bandung
– Nurcholis Madjid, DR, Cita-cita Politik Islam, 2009, Paramadina, Jakarta
– http.ulul4lb4b. multiply.com (22/12/2011)
– http.ulul4lb4b. multiply. com, (23/12/2011).
– http.//:mujtahid-komunitaspendidikan.blogspot.com/…/pluralisme-agama-d (23/12/2011)
– http.//:islamlib.com, (22/12/211)

 

2 responses to “Islam dan Fluralisme Era Globalisasi

  1. Ekky

    22 Mei 2013 at 9:03 pm

    saya tertarik dengan pembahasan diatas yg bapak paparkan,, mungkin jika diperkenankan bisa menjadi bahan tambahan untuk skripsi saya…

     
    • salwintt

      26 Juni 2013 at 10:02 am

      silahkan saja, terima ksih

       

Tinggalkan komentar