RSS

Isra’ Mi’raj, Ranahnya Iman

Isra’ Mi’raj, Ranahnya Iman
Oleh Salwinsah*
win7DALAM keadaan duka cita dan penuh rintangan -isteri dan sang paman meninggal dunia- akhirnya Allah Swt ‘menghibur’ Muhammad Saw dengan memperjalankannya dari Mekah (Masjid Haram) ke Yerussalem (Masjid Aqsha) dan naik ke langit.
Pada prinsipnya peringatan Isra’ Mi’raj hanyalah untuk memotivasi dan penyemangat, bukan dalam rangka ibadah ritual khusus. Namun pagelaran ini mengandung banyak catatan positif untuk direnung dan perlu disegarkan kembali dalamh ingatan.
Dari ribuan ayat al-Qur’an, hanya empat ayat yang menjelaskan tentang Isra’ Mi’raj, Bani Israil ayat 1 dan An-Najm ayat 13-15. Artinya adalah kebesaran Islam bukan terletak pada peristiwa Isra’ Mi’raj ini, tapi pada konsep, sistem dan muatannya. Pada surat An Najm ayat 13-15 itu, menggambarkan bahwa Rasulullah Saw menemui Jibril dalam bentuk aslinya di Sidratil Muntaha ketika Isra Mi’raj.
Di antara 25 rasul, hanya dua rasul yang pernah berbicara langsung kepada Allah, yaitu Musa dan Muhammad. Sementara Adam juga pernah berdialog dengan Allah, tapi ketika beliau masih di surga. Setelah diturunkan ke bumi, tidak lagi berdialog secara langsung. Nabi Musa berdialog dengan Allah ketika di bukit Tursina (di bumi), sedangkan Muhammad di Sidratil Muntaha (di langit). Tetapi sekali lagi, kebesaran Islam bukan di situ letaknya, namun di konsep dan muatannya. Karena itu, peristiwa Isra’ Mi’raj bukanlah segala-galanya. Ia merupakan mu’jizat imani, mu’jizat yang hanya bisa diterima apabila diiringi dengan iman.
Kisah Isra’ Mi’raj selalu menarik perhatian semua kalangan, termasuk saintis. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan digali untuk menyingkap misteri yang ada di dalamnya. Di antaranya adalah apakah perjalanan Isra’ Mi’raj yang beliau jalani dengan badan dan roh atau dengan roh saja?
Sebagian besar berpendapat, bahwa Isra’ Mi’raj dilaksanakan dengan roh dan badan. Alasan mereka ialah bahwa Rasulullah Saw menceritakan kisah itu tidak menyebut-nyebut, bahwa beliau melakukan perjalanan itu hanya dengan roh. Dan seandainya dilakukan dengan roh saja, niscaya orang tidak mempersoalkan jarak yang demikian jauh dapat dilakukan kurang dari satu malam, lantaran orang dapat mengeluarkan roh dari badannya.
Memang ada dikemukakan kasus-kasus seperti itu, meskipun cerita-cerita tentang orang yang dapat mengeluarkan badan rohani dari jasmaninya tercatat beberapa macam, tetapi kebenaran cerita-cerita itu pun belum sampai pada penelitian ilmiah yang dapat dipercaya dalam dunia sains.
Setiap muslim yang mempercayai Allah dan rasul-Nya, pasti mempercayai kisah Isra’ Mi’raj yang bersumber dari Al qur’an dan Sunah Shahihah. Adapun interpretasi tentang kisah tersebut bervariasi dan setiap muslim berhak memilih macam variasinya sesuai daya nalar masing-masing. Orang yang mantap berpendapat bahwa Isra’ Mi’raj Rasulullah Saw dijalani dengan roh dan badan tidak menganggap orang yang berpendapat bahwa dengan roh saja sudah termasuk kafir, sebab soal tersebut tidak termasuk prinsip yang menyebabkan kekufuran.
Penulis juga tidak bermaksud untuk membuat pembaca menjadi bingung, tak tahu mana yang paling benar dari berbagai macam variasi interpretasi. Bahkan hendaknya setiap muslim selaku ulul albab, yakni yang dianugerahkan oleh Allah Swt intelegensi akal fikiran ikut memikirkan interpretasi-interpretasi tersebut, mengadakan koreksi, merevisi, dan jika memungkinkan melakukan inovasi. Kebenaran mutlak ada pada sisi Tuhan dan tidak berubah, juga tidak terpengaruh oleh adanya berbagai macam interpretasi yang mungkin berubah-ubah menurut perkembangan pemikiran manusia.
Orang yang telah merasa intelek dan maju, tentunya harus mengakui bahwa kemampuan akalnya terbatas. Oleh karena itu unsur keimanan atau kepercayaan untuk memahami sesuatu masalah adalah suatu hal yang sangat penting dan perlu kita punyai. Sebagai contoh, seorang arsitektur yang ingin membuat rancangan suatu jembatan misalnya, ia mengambil buku berisi daftar kekuatan material yang akan dipergunakan di dalam konstruksi dan ia percaya saja kepada si pembuat tabel. Lalu ia membuka buku daftar matematika serta mengambil angka-angka yang diperlukan dalam perhitungannya dan ia percaya kepada kebenaran angka-ngka itu, dan seterusnya. Tanpa memasukkan unsur kepercayaan dalam pekerjaan kita sehari-hari, hidup di dunia tidak dapat digambarkan. Dalam memahami peristiwa Isra’ Mi’raj juga memerlukan pendekatan kepercayaan sebab dalam peristiwa Isra’ Mi’raj itu banyak hal-hal yang di luar jangkauan pikiran manusia biasa.
Dengan mewujudkan peristiwa Isra’ Mi’raj terhadap diri Rasulullah Saw, Allah Swt telah menunjukkan kepada rasul-Nya tanda-tanda kekuasaan-Nya yang hebat dan dahsyat. Hal itu merupakan peragaan praktis bagi Muhammad Saw, suatu cara mengajar terbaik, sehingga walaupun beliau tidak pernah belajar di sekolah maupun pada seorang guru ataupun terbang dengan menggunakan peralatan ilmiah, tetapi nabi telah melihat dan mengetahui kejadian alam yang pada dasarnya tidak dapat dijangkau oleh pikiran manusia, kecuali dengan ilmu pengetahuan. Walau akhirnya disadari bahwa pengetahuan manusia itu sendiri juga terbatas. Manusia tidak dapat memikirkan kejadian semacam itu, sebagaimana firman Allah Swt surat al-Isra’ ayat 85, “Dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit.”
Apa yang dapat kita saksikan tiap hari, berupa bermacam alat perhubungan yang dapat mempercepat perjalanan, misalnya pesawat terbang yang menjadi penghubung antar benua, negara dan daerah, bahkan ruang angkasa sekalipun, menyadarkan kita bertambah yakin bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj itu masalah yang bisa terjadi atau setidaknya bukan perkara mustahil bagi Allah Swt.
Bagaimanapun ilmu manusia tidak mungkin bisa menjabarkan hakikat perjalanan Isra’ Mi’raj. Hanya dengan iman kita mempercayai bahwa Isra’ Mi’raj benar-benar terjadi dan dilakukan oleh Rasulullah Saw. Begitulah rencana Allah menguji keimanan hamba-hamba-Nya (al-Isra:60) dan menyampaikan perintah shalat wajib secara langsung kepada Muhammad Saw untuk didistribusikan umatnya di sela kesibukan menata kehidupan, sebagai pembersih jiwa dan raga dari hinggapan kotoran-kotoran dunia fana. (*Penulis Guru SMAN Titian Teras H. Abdurrahman Sayoeti Jambi)

 

Tinggalkan komentar